Enam tahun sudah perpisahan Zainab dan suaminya berlalu, hingga pada
suatu saat Abul Ash bersama kafilah dagang yang sedang dalam perjlanan
pulang dari negeri Syam menuju Mekah melewati Madinah dihadang oleh
pasukan gerilya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhirnya, kafilah dagang yang berjumlah lebih kurang 170 orang itu
bersama dengan onta-onta mereka yang mencapai seratus ekor ditawan dan
digiring ke Madinah. Akan tetapi, Abul Ash dapat meloloskan diri. Ke
manakah ia melarikan diri?
Dalam kegelapan malam, dengan sembunyi-sembunyi Abul Ash bin Rabi’
mendatangi rumah Zainab. Zainab pun terkejut menerima kedatangannya dan
ia pun menyambutnya dengan baik serta memuliakannya. Ketika Abul Ash bin
Rabi meminta kepada Zainab agar mau memberikan perlindungan kepadanya,
Zainab pun menyatakan kesediaannya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya melaksanakan shalat Shubuh terdengarlah suara Zainab berseru,
“Wahai kaum muslimin, saya Zainab binti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, saya telah memberikan perlindungan kepada Abul
Ash, maka lindungilah ia!” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam selesai shalat, beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah
kalian mendengar apa yang aku dengar?” Para sahabat menjawab,
“Benar.” Beliau lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu sedikit
pun tentang itu sampai aku mendengar apa yang kalian dengar,
sesungguhnya semua kaum muslim (sampai yang terendah tingkatannya pun)
dapat memberikan perlindungan.”
Kemudian beliau pun menemui Zainab untuk mengetahui kebenaran berita
itu, Zainab berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abul Ash adalah
kerabat dan anak pamanku, serta anak-anakku, dan aku telah memberikan
perlindungan kepadanya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Benar wahai putriku, muliakanlah tempatnya, dan jangan
sampai ia berhubungan denganmu, sesungguhnya engkau tidak halal baginya.”
Kemudian para sahabat mengembalikan harta yang telah mereka rampas
itu kepada Abul Ash. Dan ketika Abul Ash hendak berangkat ke Mekah, ia
berkata kepada Zainab, “Mereka (yaitu para sahabat) telah menawarkan
keapdaku untuk masuk Islam, tetapi aku menolak sambil kukatakan,
‘Sungguh buruk diriku memulai agama baruku dengan pengkhianatan.’”
Mendengar ucapan terakhir Abul Ash tersebut terasa berdebar jantung
Zainab, seakan-akan ia melihat di balik apa yang ia ucapkan ada cahaya
dan harapan yang semoga saja dapat menerangi hatinya yang masih gelap
dengan kekufuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar