Jumat, 08 Juni 2012

Kisah Tak Nyata: Tentang Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu

Semoga Allah Merahmati Abu Dzar, Ia Berjalan Seorang Diri

Saat membicarakan perang Tabuk, Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Abu Dzarr mencela untanya. Ketika unta itu terlalu lamban berjalan, ia mengambil bekalnya dan menggendongnya. Kemudian berjalan kaki ia berangkat menelusuri jejak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tengah beristirahat. Saat seorang muslim memandang jauh ke padang pasir, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki seorang diri.’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga ia Abu Dzar.’ Setelah orang-orang mencoba mengamatinya dari kejauhan, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, ia adalah Abu Dzarr.’ Lantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, ‘Semoga Allah merahmati Abu Dzarr, ia berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri’.”

Seperti itulah Ibnu Ishaq menyebutkannya. Kemudian ia mengiringinya dengan mengatakan, “Lalu Buraidah bin Sufyan Al-Aslami bercerita kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, dan seterusnya.” Ia menceritakan kisah kematian Abu Dzarr di Rabdzah (sebuah desa di Madinah) dan ucapan Ibnu Mas’ud, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam benar, engkau berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri.” Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan riwayat kisah ini setelah ia menyandarkan pada Ibnu Ishaq. Dalam Al-Mathalibul Aliyah ia berkata, “Al-Qurazhi ini aku tidak mengatahuinya. Jika ia adalah Muhammad bin Ka’ab, maka hadis ini terputus.”
Hakim meriwayatkan dari jalur Ibnu Ishaq, kemudian ia berkata, “Hadis ini bersanad shahih, dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Namun Dzahabi mengoreksinya dengan mengatakan, “Ada kemursalan pada sanadnya.” Mungkin maksudnya, riwayat Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Mas’ud itu munqathi’ sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar. Tetapi caccat terbesar hadis ini adalah Buraidah bin Sufyan, guru Ibnu Ishaq. Bukhari berkata, “Ia perlu dicermati.” Daruquthni berkata, “Ia ditinggalkan.” Uqaili menuturkan, “Ahmad ditanya tentang hadisnya, maka ia menjawab, “Sebuah petaka.”
Hadis ini dilemahkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrijnya pada kitab As-Siyar karya Dzahabi. Jilid ke-12 dari kitab As-Silsilatudh Dha’ifah telah dicetak dan hadis ini tercantum di dalamnya. Syaikh Al-Albani menilai hadis ini cacat lantaran keberadaan Buraidah Al-Aslami. Adapun keterputusan sanad antara Al-Qurazhi dan Ibnu Mas’ud, Al-Albani berkata, “Dalam Al-Tarikh (1:215). Bukhari telah meriwayatkan dengan sanad kuat bahwa Al-Qurazhi mendengar darinya (Ibnu Mas’ud). Jadi, lebih tepat menilai cacat hadis ini dengan Buraidah.”
Anehnya,, Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan hadis ini dalam kitab tarikhnya lalu mengatakan, “Sanadnya hasan dan mereka tidak meriwayatkannya.” Padahal, Ibnu Qayyim ketika menyebutkannya dalam Zadul Ma’ad, ia berkata, “Kisah ini perlu dilihat kembali.” Kemudian ia membawakan riwayat Ibnu Hibban yang berbeda dan sanadnya telah dihasankan oleh Al-Armauth. Tetapi Al-Albani mengatakan, “Hadits dha’if dan sanadnya guncang.”

Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010
Artikel www.KisahMuslim.com

Masyithah (Wanita Tukang Sisir) Anak Fir’aun

Pada malam saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan isra’ ditemani oleh Jibril, beliau mencium aroma yang wangi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Jibril , aroma wangi apa ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah aroma Masyithah, putri Fira’un beserta anak-anaknya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana ceritanya?”
Kemudian Jibril mengisahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Pada suatu hari, tatkala Masyithah sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya jatuh dari tangannya. Dengan seketika dia berkata, “Bismillah (dengan nama Allah).”
Sang Putri bertanya, “Ayahanda?”
“Tidak,” jawabanya. “Tetapi Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Putri berkata, “Saya akan laporkan kepada ayahanda.”
Dia menyahut, “Silakan.”
Fir’aun lantas memanggilnya seraya bertanya, “Wahai fulanah, apakah ada Tuhan selian diriku?”
Jawabnya, “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Mendengar jawaban itu Fir’aun menjadi berang, lalu memerintahkan anak buahnya agar memanaskan patung sapi hingga meleleh, kemudian menyuruh agar tukang sisir itu beserta anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya.
Masyithah berkata, “Sebelum saya meninggal, saya memohon kepadamu satu permohonan.”
“Apa permohonanmu?” tanya Fir’aun.
Dia menjawab, “Saya mohon agar tuan nanti mengumpulkan tulangku dan tulang anak-anakku dalam satu kafan, lalu tuan kuburkan kami.”
Fir’aun berkata, “Itu adalah hal yang sangat mudah.”
Akhirnya, anak-anaknya dilemparkan satu persatu di hadapannya hingga tiba giliran anak bayi yang masih disusuinya. Seakan-akan sang ibu terlambat disebabkan rasa iba terhadap bayinya. Seketika itu bayinya dapat berbicara, ‘Wahai Ibu, masuklah! Sesungguhnya siksaan di dunia lebih ringan daripada siksa akhirat.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Ada empat bayi yang dapat berbicara, yaitiu Isa bin Maryam, Shahib Juraij, saksi Yusuf, dan anak Masyithah (tukang sisir) Fir’aun.”
Takhrij
Kisah ini juga sangat masyhur. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-Nya (1/309), at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (11/450), dan al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar (1/37). Seluruhnya dari jalan Hammad bin Salamah, dari Atha’ bin Saib, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

Derajat Kisah


Dha’if
. Disebabkan Atha’ bin Saib, beliau mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Hal ini dalam bidang ilmu musthalah hadits disebut Mukhtalith.
Dari penjelasan para pakar ahli hadits dapat disimpulkan, bahwa Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Atha’ sebelum berubah hafalan dan juga setelah berubah hafalannya. Oleh karena itu, riwayatnya tertolak disebabkan tidak bisa dibedakan.
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Atha’ bin Saib telah berubah hafalannya. Hammad bin Salamah meriwayatkan darinya sebelum hafalannya berubah dan sesudahnya juga berbeda, dengan dugaan sebagian orang-orang masa kini.” (Adh-Dha’ifah, 2/272, no. 880). Beliau juga berkata, “Sebagian rawi meriwayatkan hadits dari mukhtalith (berubah hafalannya) sebelum dan sesudahnya. Di antara mereka adalah Hammad bin salamah, beliau mendengar dari Atha’ sebelum dan sesudah perubahan hafalan Atha’ sebagaimana dijelaskan al-Hafidz dalam at-Tahdzib. Dengan demikian, maka tidak boleh ber-hujjah dengan haditsnya. Berbeda dengan sebagian ulama ahli hadits masa kini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kita dan mengampuninya.” (Adh-Dha’ifah, 3/165, no. 1053).
Kesimpulannya, kisah ini adalah dha’if sehingga  kita temukan penguatnya. Kisah ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam banyak kitabnya (Al-Isra’ wal Mi’raj, hal. 80, Dha’if Jami’ Shaghir, 10242).


Sumber: Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.KisahMuslim.com

Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu Duel dengan Jin?

ini begitu panjang. Intinya, bahwa pada masa Hudaibiyyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tertimpa kehausan yang sangat, sehingga beliau menyuruh sebagian sahabat untuk mencari air di sumur. Namun sumur tersebut sangat angker, sehingga banyak sahabat yang takuk. Kemudian Ali bin Thalib, dengan ditemani beberapa sahabat, berani maju tak gentar menghadapi suara-suara aneh, api-api yang menjilat, angin yang kencang, dan kepala-kepala yang bergelantungan. Para sahabat di belakang Ali merinding ketakutan, tetapi Ali gagah melangkah menebas kepala-kepala itu, dan akhirnya dia pun mengambil air dari sumur angker tersebut.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur di kalangan Rafidhah (agama Syi’ah –ed.), dan juga sebagian awam dari Ahli Sunnah, di mana mereka mereka beranggapan bahwa Miqat Dzul Hulaifah disebut Bi’r (Sumur Ali) karena Ali berduel dengan jin di sana.
Kisah ini dikeluarkan oleh al-Khara’ithi dalam Hawatiful Jinan, hal. 167-172, dari jalur ‘Umarah bin Zaid, dari Ibrahim bin Sa’ad, dari Muhammad bin Ishar, dari Yahya bin Abdillah bin , dari ayahnya, dari Ibnu Abbas.
Derajat Kisah
Maudhu’. Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan akan bathilnya cerita ini, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Minhajus Sunnah, 8/161, Majmu’ Fatawa, 4/491-492). Sebab kecacatannya, karena Umarah bin Zaid adalah pemalsu hadits. Demikian juga Yahya bin Abdillah bin Harist, dia seorang yang lemah.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kisah panjang yang munkar sekali.” (Al-Bidayah wa Nihayah, 2/344).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam kisah ini ada kelemahan.” (Al-Ishabah, 1/498).
Dzul Hulaifah atau Bi’r Ali?
Miqat penduduk Madinah atau jamaah haji yang lewat Madinah adalah Dzul Hulaifah (sebuah nama desa yang besar di jalan Madinah dulu ) sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Ada pun penamaannya dengan “Bi’r Ali” sebagaimana yang populer di masyaraat, maka hendaknya diganti. Sebab, bagaimana pun lafadz yang tertera dalam hadits itu lebih utama. Apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bi’r Ali adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berduel dengan jin di sumur tersebut, sehingga karena itulah disebut Bi’r Ali.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang awam yang jahil menamainya (Dzul Hulaifah) dengan Bi’r Ali, karena prasangka mereka bahwa Ali pernah berduel dengan jin di sana. Padahal ini adalah suatu kedustaan, sebab tidak seorang pun di antara sahabat yang membunuh jin. Sedangkan Ali lebih tinggi derajatnya untuk duel melawan jin,” (Majmu’ Fatawa, 26/100. Lihat juga Manasik Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hal. 4, Syarh Umdah, 2/314-315).
Syaikh Mula Ali al-Qari rahimahullah juga berkata, “Dzul Hulaifah. Di tempat ini dahulu ada sumur yang disebut oleh orang-orang awam dengan Bi’r Ali. Konon ceritanya, karena beliau duel dengan jin di sumur tersebut. Namun, ini hanyalah cerita dusta sebagaimana disebutkan Ibnu Amiril Haj.” (Al-Maslak al-Mutaqassith, hal. 79. Lihat juga Qashashun Laa Tatsbutu, Masyhur Hasan Salman, 7/95-119).


Sumber: Waspada Terhadap Kisah-kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.KisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.

Demonstrasi Umar bin Khaththab dan Hamzah Radhiallahu ‘Anhuma

Tatkala Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu telah memeluk agama Islam dan disambut takbir oleh kaum Muslimin pada waktu itu, dia lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran?” tanya Umar.
“Ya,” jawab Nabi.
Umar berkata, “Kalau begitu, lantas mengapa kita bersembunyi? Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, kami akan keluar.”
Akhirnya, mereka pun keluar beramai-ramai menjadi dua barisan. Barisan pertama bersama Umar dan barisan lainnya bersama Hamzah, hingga mendatangai masjid. Quraisy melihat dan mereka merasa mendapatkan pukulan berat saat itu.
Takhrij
Kisah ini cukup masyhur dan dijadikan dalil untuk melegalkan aksi demostrasi yang sekarang marak digelar oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Diriwayatkan Abu Nuaim dalam al-Hilyah, 1/40 dan ad-Dalail, 194 dari Muhammad bin Ahmad bin Hasan, dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, dari Abdul Hamid bin Shalih, dari Muhammad bin Aban, dari Ishaq bin Abdullah, dari Aban bin Shalih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Umar bin Khaththab.
Derajat Kisah
Maudhu’. Kisah ini lemah sekali, sebab kecacatannya karena di dalam sanadnya terdapat pe-rawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah, sedangkan dia (ditinggalkan) haditsnya sebagaimana dikatakan Nasai, al-Bukhari ad-Daruquthni, Ibnu Abi Hatim, dan lain sebagainya.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa kisah ini lemah karena bersumber dari Ishaq bin Abi Farwah, sedangkan dia adalah rawi yang lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Seandainya kisah ini shahih, maka kejadian ini di awal Islam yakni sebelum sempurnanya syariat (Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 8/257).
Demonstrasi Bukan Solusi
Demonstrasi yaitu pengungkapan kemauan secara beramai-ramai, baik setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk atau panji-panji, poster, dan lain sebagainya, yang berisikan tulisan menggambarkan tujuan demonstrai tersebut (Kamus Istilah Populer, hal. 62).
Tidak diragukan lagi, bagi seseorang yang mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh berdasarkan beberapa argumen sebagai berikut:
1.    Demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama
Cara atau metode dakwah ilallah telah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan memasang sepanduk, meneriakkan yel-yel, dan sebagainya, ke rumah Abu Jahal atau lainnya. Apalagi bersama para wanita yang dianjurkan agar tetap melazimi “istana kerajaan” (rumah)-nya. Kalaulah memang ada manfaat, maka hal itu lebih kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkannya.
2.    Demonstrasi termasuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir
Tidak diperselisihkan lagi oleh siapa pun bahwa demonstrasi adalah hasil produk orang-orang kafir. Maka, sungguh mengherankan sikap kaum muslimin yang langsung menelan produk barat ini. Mengapa kaum muslimin menelan produk impor barat ini?! Bukankah mereka selalu mendengungkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu, sehingga kamu mengikuti agama mereka…. “ (Qs. al-Baqarah: 120).
3.    Kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak
Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syariat Islam memerintahkan atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya, baik dari jarak dekat maupun jauh, seseorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya.” (Madarijus Salikin, 1/496).
Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini, marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil, apakah yang kita dapati bersama? Lihatlah betapa banyak nyawa yang terbang karena fitnah ini. Betapa banyak gedung-gedung hancur akibat fitnah ini. Sehingga keamanan dan ketentraman kini terasa mahal harganya. Histeris serta ketakutan selalu membayangi kehidupan manusia.
Mengapa mereka tidak berpikir, bila seorang polisi atau aparat terbunuh dalam aksi demo tersebut, yang merugi adalah kita semua? Apabila gedung atau bangunan pemerintah dirusak akan lebih merugikan kita semua? Mana yang lebih disenangi Allah Subhanahu wa Ta’ala, terpeliharanya darah, harta, dan kehormatan –meskipun barang melambung tinggi—ataukah terkoyaknya kehormatan dan tumpahnya nyawa orang yang belum tentu membuat harga barang turun?
Ingatlah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ المُسْلِمِ بِغِيْرِ حَقٌّ
Hilangnya dunia beserta isinya sungguh lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak benar.” (Hadits shahih, diriwayatkan Ibnu Majah (2668), Tirmidzi (1395), Nasai (3998) dengan sanad shahih).
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa bencana yang menimpa bangsa saat ini adalah disebabkan perbuatan dosa mereka sendiri, agar mereka segera menyadari dan kembali kepada ajaran agama yang suci. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan ulah perbuatan manusia.” (Qs. ar-Ruum: 41).
Jadi cara terbaik mengatasi segala krisis dan bencana yang menyelimuti bangsa ini adalah dengan bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperbaiki diri kita dan keluarga dengan aqidah shahihah, serta membersihkan diri dari segala noda ksyirikan dan kebid’ahan. Ada pun cara-cara seperti kudeta, demonstrasi, dan sejenisnya sekali pun dimaksudkan untuk kebaikan, maka sebagaimana kata penyair:
رَامَ نَفْعًا فَضَرَّ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ
وَمِنْ الْبِرِّ مَا يَكُوْنُ عُقُوْقًا
Maksud hati ingin raih kebaikan, namun tanpa sengaja justru menumbulkan kerusakan.
Sesungguhnya di antara kebaikan ada yang menjadi kedurhakaan.



Sumber: Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.kisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.

Kisah Alqamah Durhaka Kepada Ibundanya

Konon dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang bernama Alqamah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin shalat, banyak puasa dan suka bersedekah. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah untuk memberitahukan kepada beliau akan keadaan Alqamah. Maka, Rasulullahpun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar-Rumi dan Bilal bin Rabah untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda, “Pergilah ke rumah Alqamah dan talqin-lah untuk mengucapkan La Ilaha Illallah ”Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat itu Alqamah sudah dalam keadaan naza’, maka segeralah mereka men-talqin-nya, namun ternyata lisan Alqamah tidak bisa mengucapkan La ilaha illallah.
trans Kisah Alqamah Durhaka Kepada Ibundanya
Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rasulullah.
Maka Rasulullah pun bertanya, “Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?”
Ada yang menjawab, “Ada wahai Rasulullah, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.”
Maka Rasulullah mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut, “Katakan kepada ibunya Alqamah, ‘Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang menemuimu.’”
Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqamah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata, “Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rasulullah.”
Maka, dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah.
Sesampainya di rumah Rasulullah, dia mengucapkan salam dan Rasulullah pun menjawab salamnya.
Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”
Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat, banyak puasa dan senang bersedekah.”
Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Lalu apa perasaanmu padanya?”
Dia menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan diapun durhaka kepadaku.”
Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhny,a kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”
Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.”
Si ibu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau perbuat?”
Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya dihadapanmu.”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.”
Maka, Rasulullah menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya adzab Allah lebih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,”
Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku Alqamah”.
Rasulullah pun berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqamah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu
Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.”
Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah. Maka, Bilal pun masuk dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”
Kemudian, Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga.
Maka, Rasulullah melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau menshalatkannya dan menguburkannya,
Lalu, di dekat kuburan itu beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allaoh tergantung pada kemarahannya.”
Kemasyhuran kisah ini:
Kisah ini dengan perincian peristiwanya di atas sangat masyhur dikalangan kaum muslimin, para penceramah selalu menyebutkannya kalau berbicara tentang durhaka pada kedua orang tua. Kayaknya jarang sekali kaum muslimin yang tidak mengenal kisah ini. Dan yang semakin membuat masyhurnya kisah ini adalah bahwa kisah ini terdapat dalam kitab Al-Kaba’ir yang disandarkan kepada Al-Hafizh adz-Dzahabi.
Padahal kitab Al-Kaba’ir yang terdapat kisah ini bukanlah karangan adz-Dzahabi, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam kitab beliau Kutubun Hadzara Minha Ulama’ juga dalam muqaddimah kitab adz-Dzahabi yang sebenarnya.
Kisah ini juga terdapat dalam kitab-kitab yang membicarakan tentang kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua. Namun, itu semua tidaklah menjadi jaminan bahwa kisah ini shahih.
Takhrij hadits ini (Takhrij ini saya sarikan dari risalah Qashashun La Tatsbut oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, 3/19 dan setelahnya):
Hadits yang menyebutkan kisah ini secara umum diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 4/382, Thabrani, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 6/197 dan dalam Dala’ilun Nubuwwah, 6/205. Semuanya dari jalan Yazid bin Harun berkata, telah menceritakan kepada kami Fa’id bin Abdur Rahman berkata, saya mendengar Abdullah bin Abu Aufa berkata, ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, di sini ada seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, dia disuruh untuk mengucapkan syahadat namun tidak bisa mengucapkannya.” Maka, Rasulullah bertanya, “Bukankah dia mengatakannya selama hidupnya?” Dijawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah kembali bertanya, “Lalu apa yang menghalanginya untuk mengucapkan syahadat saat akan mati?” … Lalu selanjutnya diceritakan tentang kisah pemuda itu yang durhaka kepada ibunya dan keinginan Rasulullah untuk membakarnya yang akhirnya ibunya meridhainya dan diapun bisa mengucapkan syahadat lalu meninggal dunia, dan akhirnya Rasulullah bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menyelamatkannya dari api Neraka.”
Derajat kisah:
Kisah ini lemah sekali.
Sisi kelemahannya adalah bahwa kisah ini diriwayatkan hanya dari jalur Abul Warqa’ Fa’id bin Abdur Rahman dan dia adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya dan seorang yang tertuduh berdusta.
Berkata Ibnu Hibban, “Dia termasuk orang yang meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang terkenal, dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dengan hadits-hadits yang mu’dhal, tidak boleh ber-hujjah dengannya.”
Berkata Imam Bukhari, “Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dan dia seorang yang munkar hadits.”
Berkata Ibnu Hajar, “Dia orang yang lemah, tidak tsiqah dan ditinggalkan haditsnya dengan kesepakatan para ulama.”
Oleh karena itu, para ulama melemahkan hadits ini, di antaranya:
•    Imam Ahmad dalam Musnad beliau.
•    Al -Qoili dalam Adh-Dhu’afa al-Kabir, 3/461.
•    Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 6/198.
•    Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 3/87.
•    Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib, 3/222.
Karena beliau meriwayatkan kisah ini dengan lafadz: (روي: diriwayatkan). Sedangkan beliau mengatakan dalam muqaddimah kitab tersebut, “Apabila dalam sanad sebuah hadits terdapat seorang pendusta, pemalsu hadits, tertuduh berdusta, disepakati untuk ditinggalkan haditsnya, lenyap haditsnya, lemah sekali, lemah atau saya tidak menemukan penguat yang memungkinkan untuk mengangkat derajat haditsnya menjadi hasan, maka saya mulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan). Dan saya tidak menyebutkan siapa pe-rawi-nya juga tidak saya sebutkan sisi cacatnya sama sekali. Dari sini, maka sebuah sanad yang lemah bisa diketahui dengan dua tanda, pertama dimulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan), dan tidak ada keterangan sama sekali setelahnya.”
•    Adz-Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at, no. 874.
•    Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id, 8/148.
•    Ibnu ‘Araq dalam Tanzihusy Syari’ah, 2/296
•    Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id al-Majmu’ah.
•    Al-Albani dalam Dha’if Targhib.

Ganti yang shahih

Setelah diketahui kelemahan hadits ini, maka tidak boleh bagi siapapun untuk menyebutkan kisah ini saat membahas tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua dan larangan durhaka kepadanya. Namun perlu diketahui, bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah sebuah kewajiban syar’i dan durhaka adalah sebuah keharaman yang nyata. Banyak ayat dan hadits yang menyebutkan hal ini, di antaranya:
Firman Allah Ta’ala,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al-Isra’: 23).
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال جئت أبايعك على الهجرة وتركت أبوي يبكيان فقال ارجع إليهما فأضحكهما كما أبكيتهما
Dari Abdullah bin Amr berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Saya datang demi berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku menangis.’ Maka, Rasulullah bersabda, ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau membuat keduanya menangis.’” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih, lihat Shahih Targhib, 2481).
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال كان تحتي امرأة أحبها وكان عمر يكرهها فقال لي طلقها فأبيت فأتى عمر رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم طلقها
Dari Abdullah bin Umar berkata, “Saya mempunyai seorang yang saya cintai, namun Umar membencinya, dan dia mengatakan kepadaku, ‘Ceraikan dia.’ Sayapun enggan untuk menceraikannya. Maka, Umar datang kepada Rasulullah lalu menyebutkan kejadian itu, maka Rasulullah berkata kepadaku, ‘Ceraikanlah dia.’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan beliau menshahikannya. Berkata Tirmidzi, “Hadits ini hasan shahih.”).
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس واليمين الغموس
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dari Rasulullah bersabda, “Dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu.” (HR. Bukhari).
Dan untuk mengetahui banyak hadis tentang pahala berbuat bakti pada kedua orang tua dan ancaman bagi yang durhaka kepada keduanya, lihatlah Shahih Targhib wat Tarhib oleh Syaikh Al-Albani pada bab ini. Wallahu a’lam.


Penulis: Ustadz Ahmad Sabiq, Lc.
Artikel www.kisahmuslim.com dengan pengubahan tata bahasa oleh tim redaksi.

Pernikahan Nabi Daud yang Ke 100

Pernikahan Nabi Daud yang Ke 100

Ada sebuah kisah yang sangat masyhur di kalangan kaum muslimin Indonesia maupun lainnya, sehubungan dengan kisah Nabi Daud ‘alaihissalam yang difirmankn oleh Allah Ta’ala berikut ini:

Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu merasa takut, kami (adalah) dua orang yang berperkara yang seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain, maka berilah keputuran antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan.” Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian lainnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih dan amat sedikitlah mereka ini. Dan dawud mengetahui bahwa kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Robbnya lalu tersungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (QS. Shod: 21-25)

Alkisah

Konon dikisahkan bahwa Nabi Daud ‘alaihissalam membagi hari-harinya menjadi tiga, satu hari untuk mengurusi urusan manusia, satu hari untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan satu hari lagi untuk para istrinya yang berjumlah 99. Setiap kali beliau membaca Al-Kitab maka beliau mengetahui keutamaan Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, maka beliau berkata, “Ya Allah, segala keutamaan telah dihabiskan oleh bapak-bapakku, maka berilah saya keutamaan seperti yang Engkau berikan keapda mereka.” Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Bahwasanya bapak-bapakmu telah mendapatkan ujian, Nabi Ibrahim diuji dengan menyembelih anaknya, Nabi Ishaq diuji dengan buta kedua matanya sedangkan Ya’qub diuji dengan kesedihan karena kehilangan Yusuf, sedangkan engkau belum diuji seperti mereka.” Maka Nabi Daud berkata, “Ya Allah, ujilah saya seperti mereka dan berilah aku keutamaan seperti keutamaan mereka.” Lalu Allah mewahyukan bahwa engkau akan diuji maka bersiap-siaplah.”
Selepas kejadian tersebut, datanglah setan kepadanya dalam bentuk burung merpati yang terbuat dari emas lalu hinggap di kaki Nabi Daud saat beliau sedang shalat, maka beliau menjulurkan tangan untuk meraihnya, burung tersebut menjauh, Nabi Daud pun membuntutinya. Tiba-tiba beliau melihat seorang wanita sangat cantik jelita sedang mandi di loteng rumahnya, wanita itu pun melihatnya, maka dia menjulurkan rambutnya ke seluruh badannya, hal itu membuat Daud tertarik padanya. Nabi Daud pun menanyakannya, ternyata dia sudah mempunyai suami yang sedang di medan pertempuran. Nabi Daud pun mengutus panglima perang agar mengirim Uria (suami wanita tersebut) untuk mengikuti perang lainnya yang lebih dahsyat sehingga akhirnya dia terbunuh. Lalu Nabi Daud menikahinya. Barusan Nabi Daud menemui istri barunya tersebut, Allah mengutus dua malaikat dengan berbentuk manusia, keduanya minta izin untuk bisa bertemu dengan Nabi Daud. Namun saat itu adalah hari ibadah beliau sehingga keduanya dihalangi oleh penjaga, maka keduanya pun melompat pagar, ternyata saat itu Nabi Daud sedang shalat. Keduanya lalu duduk di hadapannya. Nabi Daud pun terkejut, maka keduanya berkata, “Janganlah kamu merasa takut, kami (adalah) dua orang yang bersengketa salah satu dari kami menzalimi lainnya, maka hukumilah kami secara adil.” Nabi Daud berkata, “Kalau begitu ceritakanlah urusan kalian berdua.” Salah satunya berkata, “Saudaraku ini mempunyai 99 kambing betina, sedangkan saya hanya memiliki satu ekor kambing, namun dia ingin merebut kambingku agar kambingnya genap seratus.” Nabi Daud pun bertanya pada satunya, lalu dia berkata, “Ya, saya mempunya 99 kambing dan dia hanya punya satu, namun saya ingin merebutnya agar kambingku genap seratus.” Nabi Daud bertanya, “Apakah saudaramu itu rela menyerahkannya?” Dia menjawab, “Tidak, dia tidak rela.” Maka Daud berkata, “Kalau begitu, kami tidak akan membiarkanmu melakukannya, jika engkau terus merebutnya maka kami akan menghukummu.”
Tiba-tiba salah satu dari keduanya berkata, “Wahai Daud, engkau lebih layak untuk dihukum, engkau mempunyai 99 istri, sedangkan Uria hanya memiliki satu istri, engkau kirim dia untuk berperang agar dia terbunuh lalu kamu bisa menikah dengan istrinya.”
Saat itu Nabi Daud baru sadar bahwa dia telah berbuat salah, segeralah dia tersungkur sujud sambil menangis. Dia menangis selama empat puluh hari tidak pernah bangkit kecuali untuk kebutuhan mendesak, sehingga tanah yang terkena tetesan air matanya sampai tumbuh rumput. Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai Daud, baerdirilah, Aku telah mengampuni dosamu.” Maka Nabi Daud berkata, “Ya Allah, saya mengetahui bahwa Engkau telah mengampuniku, namun jika nanti pada hari kiamat, Uria datang menenteng kepalanya yang berlumuran darah, lalu dia berkata, “Ya Allah, tanyalah Daud, kenapa dia membunuhku?” maka Allah berfirman, “Jika demikian, maka Aku akan memanggil Uria, dan akan Aku pinta keikhlasannya untukmu, yang dengannya akan Aku balas dengan surga, niscaya dia akan merelakannya untukmu.” Daud berkata, “Sekarang saya benar-benar tahu bahwa Engkau telah mengampuniku.”

Takhrij Hadis

Kisah ini sangat masyhur di kitab-kitab tafsir saat menafsirkan firman Allah di atas, juga masyhur di kitab kisah para nabi. Di antaranya disebutkan oleh Al-Hakim dan At-Tirmidzi dalam Nawadirul Ushul dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau dan As-Suyuthi dalam Ad-Dur al-Mantsur, semuanya dari jalan Yazid ar-Ruqasyi dari Anas bin Malik secara marfu’.

Derajat Kisah

Kisah ini bathil.

Sisi Kelemahan

Kebatilan kisah ini bisa dilihat dari dua sisi:
Sisi Sanad:
Semua sanad kisah ini bersumber pada Yazid bin Aban Ar-Ruqasyi, sedangkan dia adalah orang yang sangat lemah bahkan ditinggalkan hadisnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berakta, “Diakatakan oleh An-Nasai, Hakim, dan Ahmad, ‘Matruk (ditinggalkan hadisnya).’”
Sedangkan sudah maklum bagi yang mengetahui dunia ilmu hadis bahwa Imam Nasai kalau berkata tentang seseorang “Matruk” maka berarti para ulama sepakat untuk meninggalkan hadisnya.
Imam Ahmad juga berkata, “Yazid orang yang hadisnya munkar.”
Bahkan karena kerasnya pengingkaran sebagian para ulama terhadapnya, sampai-sampai Imam Syu’bah berkata, “Seandainya saya berzina lebih baik dari pada saya meriwayatkan hadis dari Yazid Ar-Ruqasyi.”
(At-Tahdzib Ibnu Hajar no. 498, Mizanul I’tidal, 4:418, At-Tarikul Kabir, Al-Bukhari, 8:320 dan lainnya)
Sisi Matan:
Adapun kalau ditinjau dari sisi matan, maka kisah ini amat banyak sekali kebathilannya, cukuplah kita sebutkan beberapa di antaranya:
1. Dikatakan: Nabi Daud meninggalkan shalatnya untuk mengejar seekor burung.
Orang yang sedikit saja mempunyai rasa malu kepada Allah, tidak mungkin meninggalkan shalatnya hanya untuk mengejar seekor burung, sebagus apapun burung tersebut. Hal ini hanya akan dilakukan oleh orang-orang fasiq ahli maksiat, lalu bagaimana dikatakan bahwa ini dilakukan oleh seorang nabi yang diberi wahyu oleh Allah?
2. Dikisahkan bawha karena Nabi Daud kepincut dengan istri salah seorang pasukannya, dan beliau berusaha agar suami wanita tersebut terbunuh.
Demi Allah dan sekali lagi demi Allah, bahwa ini hanya dilakukan oleh orang-orang licik, yang hanya mementingkan nafsu pribadinya yang penuh angkara murka tanpa memperhatikan perasaan dan hak orang lain serta tidak perduli dengan perbuatan zalim pada selainnya.
Apakah perbuatan keji ini akan dilakukan oleh seorang nabi!? Tidak dan demi Allah tidak.
Imam Ibnu Hazm dengan sangat tegas membongkar kepalsuan kisah ini dalam kitab beliau Al-Fishol, 4:41, di antara yang beliau katakan adalah, “Demi Allah, semua orang pasti tidak ingin mencintai istri tetangganya dan berencana membunuh suaminya agar bisa menikahi istrinya tersebut dan meninggalkan shalat karena melihat burung. Semua ini adalah perbuatan orang-orang bodoh lagi ngawur, serta perbuatan orang fasik, bukan orang yang baik lagi bertakwa. Lantas bagaimana dengan seorang Rasul yang mendapatkan wahyu kitab?! Allah membersihkan beliau untuk terlintas dalam benaknya hasrat keji ini, apalagi sampai melakukannya!!”

Komentar Ulama Terhada Kisah Nabi Daud Ini

Oleh karena itu, para ulama sepakat atas kelemahan dan kebatilan kisah ini, Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fishol berkata, “Ini adalah sebuah khurofat yang ditelorkan oleh orang-orang Yahudi.”
Imam Ibnuul Arabi Al-Maliki berkata, “Adapun ucapan mereka bahwa tatkala wanita ini membuat tertarik Nabi Daud maka beliau memerintahkan suaminya berperang sehingga terbunuh di jalan Allah, maka ini dipastikan kebathilannya, karena Nabi Daud tidak mungkin menumpahkan darahnya hanya untuk kesenangan dirinya saja.” Sebagaimana dinukil oleh Al-Qurthubi dalam tafsir beliau 15:176.
Al-Khazin dalam Tafsir Lubabut Ta’wil 6:49 berkata, “Bab penyucian Nabi Daud dari kisah tidak layak yang disandarkan kepadanya.” Ketahuilah bahwa seseorang yang dikhususkan oleh Allah untuk menjadi Nabi-Nya dan dimuliakan untuk menjadi seorang Rasul dan diberi amanat untuk mengemban wahyu, sama sekali tidak pantas untuk disandarkan kepadanya. Sebuah kisah yang seandainya disandarkan kepada orang biasa pun, maka dia akan mengingkari hal itu, lalu bagaimana dengan seorang nabi!?”
Al-Hafidz Ibnu Katsir, “Para ulama tafsir menyebutkan sebuah kisah yang kebanyakan terambil dari israiliyyat dan tidak shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib untuk diikuti, namun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, sanadnya tidak shahih karena dari jalan Yazid Ar-Ruqasyi dari Anas. Dan Yazid ini meskipun seorang yang shaleh namun hadisnya lemah menurut para ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4:31)
Syaikh Al-Albani berkata, “Kisah terfitnahnya Nabi Daud terhadap istri salah seorang pasukannya yang bernama Uria adalah sebuah kisah yang sangat masyhur yang dihembuskan ke dalam kitab kisah-kisah para nabi dan beberapa kitab tafsir, namun tidak ragu sedikitpun bagi seorang muslim yang akalnya masih sehat akan kebathilannya, karena kisah tersebut mengandung sesuatu yang tidak layak bagi seorang nabi, seperti berusaha agar suaminya terbunuh agar nantinya dia bisa menikahi istrinya. Kisah ini secara ringkas telah diriwayatkan dari Rasulullah, maka wajib untuk disebutkan serta dijelaskan kebathilannya.”
Lalu Syaikh Al-Albani menyebutkannya setelah itu beliau berkata, “Yang nampak bahwa kisah ini termasuk israiliyyat yang dinukil oleh ahli kitab yang mereka tidak meyakini kemakshuman (terjaga dari kesalahan) para nabi, lalu Yazid ar-Ruqosyi salah sehingga dia memarfu’kannya kepada Rasulullah.” (Adh-Dho’ifah, 313-314)

Tafsir yang Shahih

Syaikh Abdurrahman As-Sadi berkata, “Tatkala Allah menyebutkan bahwa Dia menganugerahkan kepada Daud kemampuan menghukumi persengketaan manusia, maka Allah menyebutkan berita dua orang bersengketa untuk dijadikan sebagai ujian bagi beliau sekaligus sebagai peringatan atas kesalahan yang beliau lakukan, sehingga akhirnya beliau bertaubat dan Allah pun mengampuni dosanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad, “(Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara, tatkala mereka melompat) kepada Nabi Daud (Mihrab) yaitu tempat ibadah beliau tanpa izin, mereka pun tidak masuk lewat pintu. Oleh karena itu, karena mereka masuk dengan cara mereka seperti itu Nabi Daud pun kaget dan takut. Maka keduanya berkata, ‘Kami ini (dua orang yang bersengketa) maka janganlah engkau takut (salah satu dari kami menzalimi lainnya, maka hukumilah antara kami dengan cara yang benar) maksudnya dalah secara adil, dan jangan engkau memihak salah satu.’”
Maksudnya: Bahwa Nabi Daud ‘alaihissalam mengetahui bahwa tujuan keduanya adalah hanya ingin mencari kebenaran, dan keduanya akan mengisahkan perkara keduanya dengan benar. Oleh karena itu, beliau tidak merasa risih dengan nasihat mereka.
Salah satunya berkata, “(Saudaraku ini) dia menyebutkan kata persaudaran seagama atau nasab atau sebagai teman, karena biasanya kalau demikian tidak menzalimi pada lainnya (dia mempunyai 99 kambing betina) maksudnya istri, dan yang sudah punya istri sejumlah ini maka ini adalah sebuah kebaikan yang sangat banyak seharusnya dia merasa cukup dengan yang diberikan oleh Allah padanya. (sedangkan saya hanya memiliki satu kambing) namun dia menginginkan kambingku seraya berkata, ‘Biarkan dia untukku.’ Dan dia mengalahkanku dalam berbicara sehingga dia hampir merebutnya.”
Maka Nabi Daud ‘alaihissalam berkata, (Sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu untuk digabungkan dengan kambingnya) dan ini adalah kebiasaan orang yang berserikat (kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh) karena mereka memiliki keimanan yang amal shaleh yang bisa menghalangi mereka dari berbuat zalim (namun mereka sangat sedikit sekali.” Maka Daud mengetahui) tatkala menghukumi antara keduanya (bahwa kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Robbnya lalu tersungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahan itu.) yang telah dia lakukan dan Allah memberikan kepadanya banyak kemuliaan (Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik).
Dosa yang dilakukan oleh nabi Daud tidak disebutkan oleh Allah karena tidak ada perlunya Oleh karena itu terlalu memaksakan diri kalau menyebutnya, yang penting faidahnya adalah apa yang dikisahkan oleh Allah bahwa Dia bersikap lembuat pada Nabi Daud, menerima taubatnya yang dengan itu maka beliau bertambah tinggi derajatnya dan setelah taubat bertambah lebih baik dariapda sebelumnya.” (Tafsir Karimurohman, Syaikh as-Sa’, di atas ayat ini dengan sedikit perubahan)
Kejinya Bangsa Yahudi
Itulah keyakinan kaum muslimin yang sangat menjaga kehormatan para nabi. Hal yang sangat kontradiktif dengan perilaku bangsa Yahudi juga Nasrani yang menghina bahkan sampai membunuh para nabi. Dalam kasus ini mereka menuduh nabi Daud berzina dengan wanita tersebut –semoga Allah melaknat dan menghinakan mereka- dan ini sangat jelas tergambar dalam kitab yang mereka anggap suci. Inilah sebagian petikannya:
“Sesudah itu Daud menyuruh orang mengambil dia (Batsyeba). Perempuan itu datang kepadanya, lalu Daud tidur dengannya (berhubungan seksual)…” (Kitab -2 Samuel 11:4)
“Daud dengan jahat menyebabkan kematian Uria, suami Batsyeba..” (Kitab -2 Samuel 11:6-25)
“…betapa raja orang Israel (Daud), yang menelanjangi dirinya pada hari ini di depan budak-budak perempuan para hambanya, merasa dirinya terhormat pada hari ini, seperti orang hina dengan tidak malu-malu menelanjangi dirinya.” (Kitab -2 Samuel 6:20)
Ihatlah masalah kerusakan kitab ‘suci’ ahli kitab ini dalam The Choice oleh Ahmad Deedat Hal.287-321.
Kita berlindung kepada Allah dari kekotoran jiwa dan matinya hati. Wallahu musta’an.
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 12 Tahun ke-7  1429 / 2008
Artikel www.KisahMuslim.com

Upaya Syaibah bin Utsman Membunuh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

Upaya Pembunuh kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Ishaq berkata, “Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah, saudara Bani Abdiddar, bercerita, ‘Aku berkata pada hari itu –yakni Perang Hunain– bahwa aku akan membalaskan dendamku pada Muhammad. Aku akan membunuh Muhammad. (ayah Syaibah terbunuh dalam perang Uhud.) aku menuju tempat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Namun tiba-tiba muncul sesuatu yang menakutkan hingga menghilangkan kesadaranku. Aku tidak sanggup melihatnya. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak sanggup menyentuh beliau’.”

Baihaqi meriwayatkannya dalam Ad-Dalail dari jalur Walid bin Muslim yang berkata, “Abdulah bin Mubarak bercerita kepada kami, dari Abu bakar Al-Hudzali, dari Ikrimah mantan budak Ibnu Abbas, dari Syaibah bin Utsman yang mengatakan, ‘Ketika aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tidak terjaga dalam perang Hunain, aku teringat ayah serta pamanku yang mati di tangan Ali dan Hamza. Maka aku berkata, ‘Hari ini aku bisa membalaskan dendamku pada Muhammad.’ Aku bergerak mendekati beliau dari sisi kanan. Ternyata ada Abbas yang tengah beridiri siaga. Ia mengenakan baju besi putih seperti perak yang tidak tertutupi debu. ‘Ini pamannya, pasti ia tidak akan membiarkannya terancam,’ gumamku. Kemudian aku mencoba mendekati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi kiri. Dan ternyata Abu Sufyan bin Harits di sana. ‘Ini saudara sepupunya dan tentunya ia tidak akan membiarkannya terancam.’
Selanjutnya, aku mendatangi beliau dari arah belakang. Ketika aku hanya tinggal menebas beliau dengan sekali tebasan pedang, tiba-tiba muncul kobaran api seperti kilat antara aku dan beliau. Aku sangat takut api itu membakarku. Maka aku menutupi mataku dengan tangan sambil berjalan mundur. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan bersabda, ‘Wahai Syaibah.. wahai Syaibah, mendekatlah kepadaku. Ya Allah hilangkan (gangguan) setan darinya.’ Lantas aku menatap beliau. Ajaib, tiba-tiba aku lebih mencintai beliau daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, perangilah orang-orang kafir’.”
Ketika menyebutkan hadis ini, Dzahabi berkata, “Hadis ini gharib sekali.” Haitsami, dalam Al-Majma’, menyandarkan riwayat ini pada Thabrani, dan ia berkata, “Pada sanadnya ada Abu Bakar Al-Hudzali, ia seorang perawi dha’if.” Ini tergolong kurang teliti dalam men-jarh (mencela seorang rawi). Dzahabi dan Ibnu Hajar telah menyatakan bahwa ia (Abu Bakar Al-Hudzali) seoarang perawi matruk (ditinggalkan).” Kemudian Baihaqi menyebutnya sanadnya dari Ayyub bin Jabir, dari Shadaqah bin Sa’id, dari Mush’ab bin Syaibah, dari ayahnya yang berkata, “Aku berangkat bersama Rasulullah (menuju Hunain). Demi Allah, bukan Islam yang mendorongku berangkat. Tetapi aku hanya tidak suka bila Hawazin sampai mengalahkan Quraisy. Ketika aku tengah berdiri di samping beliau, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku melihat kuda belang’.” Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, hanya orang kafir yang bisa melihat kuda itu.’ Lantas beliau menepuk dadaku, dan mengucapkan,’Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Syaibah.’ Beliau melakukannya tiga kali. Setelah itu hampir tidak ada makhluk Allah yang lebih aku cintai dari pada beliau….” Baihaqi menyebutkan hadis selengkapnya.
Ayyub bin Jabi bin Sayyar seorang perwai dha’if. Sementara itu, Shadaqah bin Sa’id Al-Hanafi, tentangnya Ibnu Hajar berkata, “Rawi maqbul (bisa diterima).” Artinya, ketika hadisnya menjadi mutaba’ah, bila tidak maka ia seorang perawi yang hadisnya layyin. Sepanjang penelitianku, aku tidak mendapati anak Syaibah bin Utsman yang bernama Mus’ah telah dituliskan biografinya. Adham Ar-Ruwah disebutkan, “Mus’ab bin Syaibah bin Jubair bin Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah termasuk perawi tingkat lima. Mus’ab di sini putra dari cucu pelaku kisah. Tentangnya Ahmad berkata, “Ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar.” Nasai berkata, “Haditsnya mungkar.” Daruquthni berkata, “Ini tidak kuat dan bukan orang yang hafalannya baik.” Abu Dawud men-dha’if-kannya, sementara Ibnu Ma’in dan Al-Akli men-tsiqah-kannya. Oleh sebab itu, dalam At-Taqrib, II:215, Ibnu Hajar lebih memilih bahwa ia layyinul hadis.
Kisah ini disebutkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah, VIII: 213, dari Waqidi, dari guru-gurunya. Waqidi perawi matruk, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar menyandarkan riwayat ini pada –selain yang telah disebutkan– Ibnu Khaitsamah dari Mush’ab An-Namiri, dan Baghawi. Kemudian ia mengatakan, “Ibnu Sakan berkata, ‘tentang sanad kisah keislaman Syaibah perlu dilihat ulang.’ Ibnu Sakan adalah Al-Imam Al-Hafizh Al-Mujawwid Al-Kabir Abu Ya’la Sa’id bin Utsman bin Sa’id bin Sakan. Ia seorang ulama besar yang menghimpun, mengarang, memversifikasi rawi, menshahihkan dan mencacat hadis.” Wafat tahun 353 H. Ibnu Hajar menggelarinya dengan sebutan ‘jalalah (keluhuran) dan itqan (pakar).”


Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010
Artikel www.KisahMuslim.com

Kedatangan Ibu Persusuan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Baihaqi dalam Ad-Dalail meriwayatkan dari jalur Ja’far bin Yahya bin Tsauban yang berkata, ‘Umarah bin Tsauban memberitakan kepada kami bahwa Abu Thufail mengabarinya, ‘Aku melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagi daging di Ji’ranah.’ Abu Thunfail berkata, ‘Saat itu aku masih kanak-kanak yang baru kuat mengangkat tulang unta. Tiba-tiba datang seorang wanita yang langsung mendekati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun membentangkan selendang lalu mempersilakan wanita itu duduk di atasnya.’ Aku bertanya, ‘Siapa wanita itu?’ Mereka menjawab, ‘Ini ibu yang menyusul beliau’.”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hakim. Ia dan Dzahabi tidak menjelaskan statusnya. Di tempat lain, Hakim meriwayatkannya dari jalur yang sama, dan ia berkata, “Sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.” Namun Dzahabi tidak memasukkannya dalam At-Talkhish.” Saat membawakan riwayat ini dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir berkata, “Ini hadis gharib. Barangkali maksudnya adalah saudari sepersusuan beliau. Sebab ia bersama beliau diasuh oleh ibunya, Halimah Sa’diyah. Jika riwayat ini benar, berarti Halimah berumur panajng. Sebab jarak waktu antara Halimah menyusui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan peristiwa Ji’ranah lebih dari 60 tahun. Sementara diperkirakan, ketika menyusui beliau, ia minimal berusia 30 tahun. Selanjutnya, hanya Allah yang mengetahui, berapa tahun ia hidup setelah itu.”
Tentang Jafar bin Yahya bin Tsauban, Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqrib, I: 133, “Ia bisa diterima.” Yakni sebagai mutaba’ah, bila tidak makna hadisnya layyin sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar di mukadimah At-Taqrib. Karenanya, dalam Al-Kasyif, I: 131, Dzahabi berkata, “Ada yang tidak diketahui tentang dirinya.” Dan dalam Al-Mughni fid Dhu’afa, I:214, ia mengatakan, “Tidak dikenal.” Ibnu Madini dan Ibnu Qathan Al-Fasi telah menyatakan kemajhulannya. Sedang Ibnu Hibban seorang diri memasukkannya dalam kitabnya Ats-Tsiqah (kumpulan perawi terpercaya).
Umarah bin Tsauban juga disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqah. Sedangkan Ibnu Qathan mengatakan, “Ia tidak dikenal.” Dzahabi berkata dalam Al-Kasyif, II: 262, “Ia di-tsiqah-kan, padahal ada ketidakjelasan tentang dirinya.” Al-Hafizh dalam At-Taqrib, II: 49, berkata, “Rawi mastur (keadaannya tertutupi).” Ini istilah yang digunakan Ibnu Hajar pada perawi yang meriwayatkan darinya lebih dari seorang dan ia tidak di-tsiqah-kan, sebagaimana ia jealskan dalam mukadimah. Dan hadis tentang kedatangan ibu persusuan beliau ini, Munzhiri tidak menghukumi derajatnya.
Al-Albani men-dha’if-kannya lantaran ke-majhul-an Umarah sebagaimana tercantum dalam Dhaif Sunan Abu Dawud, Hal. 508, hadis no. 5144, Dha’if Al-Adabil Mufrad, Hal. 116, hadis no. 1295, dan Dha’if Mawaridizh Zham’an, Hal. 176, hadis no. 2249.
Kemudian Abu Dawud meriwayatkan dari Umar bin Saib bahwa telah sampai kepadanya, bahwa suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk lalu datanglah ayah persusuan beliau menghamparkan sebagian kain beliau dan mempersilahkannya duduk di atasnya. Kemudian ibu persusuan beliau datang, dan beliau menghamparkan bagian lain dari sisi bajunya yang lain dan mempersilakannya duduk di hadaapan beliau.” Mundziri berkata, “Hadis ini mu’dhal, sebab Umar bin Saib diketahui hanya meriwayatkan dari tabi’in (sedangkan dalam hadis ini ia langsung menceritakan peristiwa tanpa menyebut tabi’in dan sahabat. Artinya gugur dua orang perawi secara berurutan pen.). Ibnu Katsir berkata dalam kitab tarikhnya, “Telah diriwayatkan sebuah hadis mursal yang menceritakan kedatangan ayah dan ibu persusuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kesahihannya, wallahu a’lam.”
Sebagai catatan, telah populer di kalangan banyak orang bahwa Halimah adalah wanita pertama yang menyusui Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak memiliki ibu persusuan selainnya. Padahal menurut riwayat yang shahih, wanita pertama yang menyusui beliau adalah Tsuwaibah, mantan budak Abu Lahb. (Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab An-Nikah, bab 20,25,26 dan lainnya)


Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010.
Artikel www.KisahMuslim.com

Nabi Kedatangan Saudari Sepersusuannya

Kedatangan Syaima’ Saudari Sepersusuan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Ibnu Ishaq berkata, “Sebagian Bani Sa’ad bin Bakr bercerita kepadaku bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari itu (perang Hunain), “Jika kalian sanggup menangkap Bijad – seorang lelaki dari Bani Sa’ad bin Bakr – maka jangan ia lepas dari kalian. Ia telah membuat-buat hal baru.” Maka ketika pasukan muslimin berhasil menangkapnya, mereka menggiringnya beserta keluarganya. Mereka juga menggiring Syaima binti Harits bin Abdil Uzza, saudarai sepersusuan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bersamanya.”
Mereka bersikap kasar kepada Syaima, sehingga ia berkata pada pasukan kaum muslimin, “Tahukah kalian, demi Allah, aku ini saudari sepersusuan pemimpin kalian.” Namun mereka tidak mempercayainya hingga mereka tiba di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Lantas Yazid bin Ubaid As-Sa’di bercerita kepadaku, “Ketika telah sampai di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku saudari sepersusuan Anda.’ Beliau bertanya, ‘Apa buktinya.’’Bekas gigitan Anda di punggungku ketika aku bersandar pada Anda.’ Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenali bekas luka gigitan tersebut. Kemudian beliau menghamparkan selendang dan mempersilakannya duduk. Kemudian beliau menawarkan dua pilihan padanya, “Jika engkau mau, engkau bisa hidup bersamaku dengan penuh cinta dan dihormati. Tetapi jika engkau menginginkan aku memberi (harta) kepadamu dan engkau kembali ke kaummu, aku bisa melakukannya.’ Ia menjawab, “Beri saja saya harta dan kembalikan aku ke kaumku’.”
Guru Ibnu Ishaq, Yaziq bin Ubaid, adalah perawi terpercaya, tetapi ia seorang tabi’in sehingga otomatis ia tidak menemui peristiwa kisah ini. Jadi hadis ini mursal. Baihaqi meriwayatkannya dalam Ad-Dalail dari jalur Hakam bin Abdul Malik, dari Qatadah yang berkata, dan seterusnya seperti cerita di atas.” Dzahabi menyebutkannya dalam Al-Maghazi, kemudian ia berkata, “Hakam di-dha’if-kan oleh Ibnu Ma’in.” Dan Qatadah lahir tahun 60, berarti hadis ini mursal.
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan,

Sebuah Mukjizat Yang Tidak Benar

Kisah Muslim – Ibnu Ishaq berkata, “Sa’id bin Maina berkata kepadaku bahwa diceritakan kepadanya, bahwa seorang putri Bisyir bin Sa’ad, saudari Nu’man bin Bisyir mengatakan, ‘Ibuku, Amrah binti Rahawah, memanggilku. Lantas ia memberiku satu genggam kurma yang dimasukkan ke dalam bajuku, kemudian berkata, ‘Putriku, pergilah ke ayah dan pamanmu Abdullah bin Rawahah untuk mengantar makan siang mereka berdua….’ aku melewati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Kemarilah wahai anak, apa yang engkau bawa ini?’Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, ini kurma….” Beliau bersabda, “Bawalah kemari.” Lantas aku menuangkannya di kedua telapak tangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata kurma itu tidak memenuhi kedua telapak tangan beliau. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kain dan dibantangkan di hadapan beliau. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kurma di atas kain itu.

Selanjutnya, beliau bersabda kepada seseorang di hadapan beliau, ‘Panggillah para penggali parit agar makan siang.’ Sejenak kemudian, para penggali parit telah berkumpul mengelilingi kurma itu, mereka memakannya. Ajaib, kurma itu terus bertambah hingga semuanya makan dan pergi lagi, sementara kurma itu masih berjatuhan dari ujung-ujung kain.” Setelah menyebutkan kisah ini dalam Al-Bidayah, Ibnu Katsir mengatakan, “Demikianlah diriwayatkan Ibnu Ishaq. Sanadnya terputus. Begini pula diriwayatkan Baihaqi dari jalur Ibnu Ishaq, tanpa tambahan.”
Imam Bukhari telah meriwayatkan kisah yang lebih fenomenal yang juga terjadi dalam perang ini, dari Jabir bin Abdillah yang berkata, “Dalam peristiwa perang Khandaq, kami menggali parit, lalu ada sebongkah batu yang sangat keras. Mereka mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ada sebongkah batu keras yang muncul di parit.” Beliau bersabda, “Aku akan turun langsung.” Kemudian beliau berdiri, sedangkan perut beliau diganjal dengan batu. Sudah sejak tiga hari perut kami tidak diisi makanan. Lantas Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meraih cangkul dan memukulkannya pada bongkahan batu itu. Dan batu keras itu menjadi pasir yang berhamburan. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku pulang ke rumah.”
Sesampainya di rumah, aku berkata pada istriku, “Aku melihat sesuatu pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dapat ditahan-tahan lagi. Apakah engkau punya suatu makanan?” Ia menjawab, “Aku punya tepung dan kambing betina.” Aku lalu memotong kambing, sementara istriku memasak tepung.
Singkat cerita, kami selesai memasukkan daging ke dalam periuk. Kemudian aku mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sementara adonan tepung itu telah matang dan periuk masih berada di atas tungku dan daging hampir masak. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki sedikit makanan, maka datanglah Anda bersama satu adau dua orang.” “Seberapa banyak makanan itu?” tanya beliau.
Aku pun memberitahukannya. Beliau bersabda, “Itu makanan yang banyak lagi baik. Katakan pada istrimu jangan ia menurunkan periuk dan adonan roti dari atas tungku sebelum aku tiba.” Kemudian beliau bersabda, “Berdirilah kalian semua.” Lantas semua orang-orang Muhajirin dan Anshar pun berdiri. Ketika Jabir menemui istrinya, ia berkata, “Celaka, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama para Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang berasama mereka.” Ia bertanya, “Apakah beliau bertanya kepadamu sebelumnya?” Aku menjawab, “Ya.”
Kemudian beliau bersabda, “Masuklah kalian tetapi jangan gaduh.” Lantas beliau memotong-motong kue dan mencampurnya dengan daging. Beliau selalu menutup kembali periuk dan tungku itu setiap selesai mengambil daging dan kue, lalu menghidangkannya untuk para sahabat. Kemudian beliau mengambil daging lagi. Beliau terus memotong kue dan menciduk daging hingga mereka semua kenyang, bahkan masih ada sisa. Beliau bersabda, “Makanlah ini dan hadiahkanlah, sebab masyarakat tengah dilanda musibah kelaparan’.”
Dalam hadis yang agung ini terkandung mukjizat dan pelajaran penting sehingga tidak perlu lagi pada hadis dha’if (untuk menunjukkan suatu mukjizat). Hadis-hadis shahih terkait bertambahnya makanan dan minuman di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ada banyak. Sebagiannya diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya, kitab Alamatun Nubuwwah fil Islam.”
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010

Artikel www.KisahMuslim.com

Umar Tidak Tahu, Tetapi Rabb-nya Pasti Tahu

yang disebutkan dalam sirah ‘Umar bin ‘Abdil-’Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.
Awal kisah, pada suatu malam Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: “Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah ‘Umar melarangnya?”
Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: “Umar tidak akan mengetahui.”
Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: “Kalaupun ‘Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya.”
Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati ‘Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama ‘Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: “Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut,” maka menikahlah ‘Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut:
- Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka.
- Selalu menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain.
- Tidak meresa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua.
- Memilihkan suami yang shalih atau yang shalihah bagi anak-anaknya.
Penggalan kisah ini hanya sekadar contoh, bagaimana cara kita mengambil pelajaran berharga dari sebuah kisah, kemudian menanamkannya pada anak-anak kita, dan masih banyak contoh lainnya, baik di dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits yang bisa digali dan jadikan sebagai kisah-kisah yang layak dituturkan kepada anak-anak kita.
Penulis: Ustadz Abu Sa’ad Muhammad Nurhuda


Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M Judul: Memilihkan Kisah yang Mendidik
Artikel www.KisahMuslim.com

Riyah Al-Qaisi dan Muhasabah Dirinya

Malik bin Dhaigham berkata, “Riyah al-Qaisi datang ke rumah untuk menemui bapakku setelah waktu Ashar. Aku katakan padanya bahwa bapakku sedang tidur. Dia bertanya, ‘Apa benar beliau tidur pada jam sekian? Apakah sekarang ini waktu untuk tidur?’ Lalu beliau pulang.

Kemudian kami suruh seseorang untuk menyusul beliau, kami pesan agar ditanyakan kepada beliau, ‘Apakah kami harus membangunkannya?’

Ternyata utusan kami terlambat pulang, dia baru tiba kembali ke rumah setelah matahari terbenam. Kami berkata kepadanya, ‘Terlambat sekali kamu?! Apakah kamu sudah menyampaikan pesan kami kepada beliau?’ Utusan itu menjawab, ‘Beliau sangat sibuk sehingga tidak sempat memahami ucapanku. Memang kami berhasil menyusul hanya saja beliau telah masuk ke dalam pekuburan, sedang berkata kepada dirinya sendiri, ‘Pantaskah jam sekian tidur?’ Apa ini urusanmu? Seseorang tidur semaunya sendiri?!’
Kenapa kau katakan, ‘Apakah sekarang ini waktu tidur?’ Apakah alasanmu sehingga mengatakan bahwa sekarang ini bukan waktu tidur? Kamu menanyakan sesuatu yang bukan menjadi urusanmu, dan berkata tentang sesuatu yang bukan urusanmu pula! Sungguh aku berjanji kepada Allah yang aku tidak akan melanggarnya selama-lamanya. Aku tidak akan menidurkanmu di atas bumi selama setahun kecuali jika kau sakit atau telah gila. Celaka kamu, celaka kamu. Tidak malukah kamu? Kamu telah menjelekkan orang, tidak bisakah kamu menghentikan perbuatan itu?’
Kemudian beliau menangis, beliau tidak mengetahui jika aku berada di tempat itu. Setelah aku menyaksikan apa yang diperbuatnya aku pulang dan meninggalkan beliau. (Al-Hilyah, 6/192.)

Sumber: 99 Kisah Orang Shalih
Artikel www.KisahMuslim.com

Kisah Keislaman Hamzah

Ibnu Ishaq berkata, “Seseorang dari kabilah Aslam telah bercerita kepadaku, ia memiliki ingatan kuat, bahwa Abu Jahal berpapasan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bukit Shafa. Lantas ia menyakiti dan mencaci maki beliau. Ia juga menjelek-jelekkan agama beliau dan meremehkan misi yang beliau bawa. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meladeninya. Sementara itu, seorang wanita bekas budak Abdullah bin Jad’ah yang berada di dalam rumahnya mendengar kata-kata kasar Abu Jahal itu.” Selanjutnya, Ibnu Ishaq menyebutkan kisah ketika wanita ini menemui Hamzah –yang baru pulang dari berburu– untuk memberitahukan apa yang telah terjadi pada keponakannya. Maka fanatisme kekeluargaannya muncul sehingga ia langsung menuju ke tempat Abu Jahal dan melukai wajahnya. Kemudian Hamzah berakta, ‘Beraninya engkau mencaci maki Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan aku telah menganut agamanya. Aku mengatakan apa yang ia katakan.”
Hakim meriwayatkannya dari jalur Ibnu Ishaq, namun oleh Dzahabi dikritik sebagai hadis mu’dhal. Guru Ibnu Ishaq yang menceritakan riwayat ini kepadanya tidak jelas, artinya ia majhul. Ditambah lagi hadis ini mursal.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan kisah ini secara ringkas dalam Ath-Thabaqat, III: 9, dari jalur Waqidi. Haitsami juga menyebutkannya dalam Majma’uz Zawaid dan ia berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani secara mursal dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dan para perawinya adalah perawi yang shahih.”
Guru Thabrani dalam hadis ini adalah Isma’il bin Hasan Al-Khaffaf. ‘Umari dan Thabrani berkata tentang dirinya,” Aku tidak menemukan catatan biografinya.” Kemudian Haitsami menyebutkan riwayat lain dari Ya’qub bin ‘Utbah bin Mughirah bin Akhnas bin Syariq, ia berkata, “Thabrani meriwayatkannya secara mursal dan para perawinya tsiqah.”
Ya’qub bin Uqbah adalah perawi tsiqah namun termasuk tingkatan keenam. Yakni tingkatan para perawi yang tidak pernah bertemu seorang pun dari sahabat. Dalam sanad ini juga ada Ibnu Ishaq, ia perawi mudallis dan ia meriwayatkan secara ‘an-anah.
Sementara itu, Syaikh Al-Albani tidak memperjelas status kisah ini dalam komentarnya terhadap kitab Fiqhus Sirah, Hal. 116, dan ia tidak menyebutkannya dalam kitab Shahihus Sirah.
Dr. Akram Umar mengatakan, “Hamzah masuk Islam pada masa Quraisy semakin kurang ajar terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi kronologi keislamannya tidak terbukti diriwayatkan melalui jalan yang shahih.”


Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan:1 April 2010.
Artikel www.KisahMuslim.com

Kisah Tidak Shahih: Doa Nabi untuk Utbah bin Abi Waqqash

Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Utbah bin Abi Waqqash

Imam Dzahabi mengatakan, “Ma’mar berkata dari Zuhri, dari Utsman Al-Jazari, dari Miqsam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Utsman Al-Jazari, dari Miqsam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan untuk Utbah tatkala ia mematahkan gigi beliau, ‘Ya Allah, jangan biarkan satu tahun lewat kecuali ia mati dalam keadaan kafir.’ Dan benar, belum ada satu tahun dari peristiwa itu Utbah bin Abi Waqqash mati kafir menuju neraka.” Kemudian Dzahabi berkata, “Hadis mursal.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Abdurrazzaq meriwayatkannya dengan sanad terputus dalam kitab tafsirnya.”
Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemurkaan Allah amat besar terhadap kaum yang berani melakukan seperti ini pada nabi-Nya –beliau menunjuk gigi beliau yang patah-.” Dan dalam riwayat Ibnu Abbas, “…terhadap kaum yang berani mengalirkan darah wajah nabi Allah.” Masih dalam Shahih Al-Bukhari, dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka di bagian kepala dalam perang Uhud, maka beliau bersabda, “Bagaimana suatu kaum yang berani melukai kepala nabinya akan beruntung?” Lantas turun ayat, “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu…” (QS. Ali Imran: 128).
Dalam riwayat Ibnu Umar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan pada Shafwan bin Umayah, Suhail bin Amru, dan Harits bin Hisyam.” Maka turunlah ayat, “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, dan seterusnya sampai akhir ayat.”
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010
Artikel www.KisahMuslim.com

Pangkal Segala Keburukan

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan,
Keempat perkara yang disebutkan oleh Al-Hasan Al-Bashri ini merupakan pangkal dari segala macam keburukan. Karena, keinginan terhadap sesuatu ialah kecenderungan jiwa kepadanya dengan sebab meyakini kemanfaatannya. Sehingga jika seseorang tengah berkeinginan terhadap sesuatu niscaya akan terbawa untuk berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara yang dia yakini akan bisa menyampaikannya. Terkadang mayoritas cara-cara tersebut adalah cara-cara yang diharamkan, atau bisa jadi sesuatu yang dia ingini itu sendiri merupakan perkara yang haram.
Sedangkan (definisi) takut adalah kekhawatiran terhadap sesuatu. Apabila seseorang merasa takut terhadap sesuatu niscaya akan melakukan sebab-sebab (faktor-faktor) yang dapat menolaknya dengan berbagai cara/jalan yang diyakini akan dapat menolaknya. Adakalanya kebanyakan dari jalan-jalan tersebut adalah perkara-perkara yang diharamkan.
Syahwat ialah kecondongan jiwa kepada hal-hal yang  mencocokinya di mana jiwa itu merasakan kelezatan/kenyamanan dengannya. Mayoritasnya, jiwa itu cenderung kepada keharaman-keharaman seperti zina, mencuri, minum khamr, condong kepada kekafiran, sihir, kemunafikan, dan kebid’ahan-kebid’ahan.
Sedangkan kemarahan ialah mendidihnya darah di qalbu guna mencegah hal-hal yang menyakitinya tatkala mengkhawatirkan bakal terjadinya suatu peristiwa, atau dalam upaya membalas dendam kepada pihak yang telah menyakitinya sesudah terjadinya peristiwa tersebut. Sehingga muncullah dari semua itu tindakan–tindakan yang haram, seperti pembunuhan, pemukulan, berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan. Muncul pula darinya berbagai macam ucapan yang diharamkan seperti fitnah, menuduh tanpa bukti, caci-maki, serta ucapan-ucapan keji yang bisa saja naik ke derajat kekafiran sebagaimana yang terjadi pada diri Jabalah bin Al-Aiham. Demikian pula sumpah–sumpah yang tidak diperbolehkan secara syariat dan atau sampai mengucapkan kalimat talak (cerai) kepada yang kemudian berakhir dengan penyesalan.
Sumber: Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 379-380/asysyariah.com
Artikel www.KisahMuslim.com

Kisah Kebenaran Syair Thala’al Badru ‘Alaina

Kisah Kebenaran Syair Thala’al Badru ‘Alaina

Syarir lagu ini termasuk berita yang erat kaitannya dengan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baihaqi dalam Ad-Dalail meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaidullah bin Aisyah yang berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, para wanita dan anak-anak mengucapkan:

Thala’al badru ‘alaina
Bulan purnama muncul pada kita
Min saniyyatil Wada’’
Dari bukit Tsaniyatil Wada’
Wajaba syukru ‘alaina
Syukur wajib kita haturkan
Mada’a lil ahida
Atas apa yang diserukan penyeru pada Allah
Baihaqi meriwayatkannya di tempat terpisah dalam Ad-Dalail pada bab orang-orang menyambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat pulang dari perang Tabuk. Kemudian ia mengatakan, “Ini disebutkan ulama-ulama kami saat beliau hijrah ke Madinah dari Mekah, dan kami telah menyebutkan di tempatnya. Bukan ketika beliau tiba di Madinah melalui bukit Tsaniyah Wada’ saat beliau datang dari Tabuk, wallahu a’lam. Namun kami juga menyebutkan kisah ini di sini.”
Al-Hafizh Al-Iraqi mengomentari riwayat ini sebagai hadis mu’dhal, sebab perawi kisah Ubaidullah bin Aisyah (salah satu guru Bukhari) meninggal tahun 228 H. Jadi antara ia dan peristiwa kisah ini ada jarak yang panjang. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath, mengatakan, “Abu Sa’id mengeluarkan dalam Syaraful Mushthafa dan kami meriwayatkannya dalam Fawaidul Khal’i dari jalr Ubaidullah bin Aisyah secara munqathi (terputus sanadnya), “Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Madinah, budak-budak wanita serentak mengucapkan:
Bulan purnama muncul pada kita
Dari bukit Tsaniyatil Wada’
Syukur wajib kita haturkan
Atas apa yang diserukan penyeru pada Allah
Ini adalah sanad yang mu’dhal. Boleh jadi peristiwa ini terjadi saat kedatangan beliau dari perang Tabuk.” Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya. Ia berkata, “Abdullah bin Muhammad bercerita kepada kami, Sufyan bercerita kepada kami, dari Zuhri, dari Saib bin Yazid yang menuturkan, ‘Aku ingat saat aku keluar bersama-sama anak kecil ke bukit Tsaniyatil Wada’ untuk menyambut kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Tabuk’.”
Ibnu Hajar berkata, “Dawudi mengingkari riwayat ini. Ibnul Qayyim mengikutinya dan berkata, ‘Tsaniyah Wada’ itu letaknya searah dengan Mekah, bukan Tabuk. Bahkan arah Tabuk berlawanan dengan arah Tsaniyah Wada’ seperti Timur dan Barat.’
Ibnul Qayyim melanjutkan, ‘Kecuali bila ada bukit lain ke Tabuk. Tsaniyah adalah tanah yang tinggi. Dikatakan juga, jalan di gunung.’ Aku (Ibnu Hajar) berkata, ‘Letak Tsaniyah Wada’ di arah Hijaz tidak menutup kemungkinan orang yang bepergian ke Syam melewati arah tersebut. Ini sesuatu yang jelas. Sebagaimana bisa masuk Mekah lewat satu bukit dan keluar meninggalkannya melalui bukit lain, di mana kedua arah ini nantinya bertemu di satu jalan.
Dalam Al-Halabiyat kami telah meriwayatkan dengan sanad munqathi tentang ucapan kaum wanita ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, ‘Bulan purnama muncul pada kita dari bukit Tsaniyatil Wada’.’ Dikatakan, peristiwa ini terjadi saat kedatangan beliau ke Madinah dalam hijrah, dan dikatakan pula saat beliau tiba dari perang Tabuk.” Demikian Ibnu Hajar menyandarkan pada Ibnul Qayim babwa ia berkata “Tsaniyah Wada’ letaknya searah dengan Mekah, bukan Tabuk.: sementara ucapan Ibnul Qayyim benar-benar berbeda. Ia megnatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat dengan Madinah, orang-orang keluar untuk menyambut beliau. Para wanita, anak-anak dan budak-budak ikut keluar, mereka mengucapkan:
Bulan purnama muncul pada kita
Dari bukit Tsaniyatil Wada’
Syukur wajib kita haturkan
Atas apa yang diserukan penyeru pada Allah
Sebagai perawi keliru dalam masalah ini dengan mengatakan babwa ini terjadi kala kedatangan beliau di Madinah dari Mekah. Ini satu kesalahan nyata, sebab bukit Tsaniyah Wada berada di arah Syam. Orang yang datang dari Mekah ke Madinah tidak bisa melihatnya dan tidak melewatinya kecuali bila ia menuu ke arah Syam terlebih dahulu.”
Sebab penamaan Tsaniyah Wada’ dan babwa bukti ini terletak di arah Tabuk telah disebutkan dalam peristiwa lain, yakni dalam pengharaman nikah mut’ah. Al-Hafizh Ibnu hajar berkata, “Hazimi mengeluarkan hadis Jabir yang menuturkan, “Kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke perang Tabuk. Saat kami sampai di sebuah bukit dekat Syam, datanglah para wanita yang sebelumnya kami pernah nikah mut’ah dengan mereka. Mereka berseliweran di tempat kendaraan kami. Tidak lama kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan kami menceritakan hal itu pada beliau. Ternyata beliau marah dan langsung berkhotbah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya kemudian melarang nikah mut’ah. Maka di hari itu kami saling meninggalkan (nikah mut’ah). Karena itulah, maka tempat itu disebut Tsaniyatul Wada (bukit perpisahan).” Hadis ini tidak shahih, karena bersumber dari jalur Abbad bin Katsir, seorang perawi yang ditinggalkan.” Syaikh Al-Albani berkata, “Kisah ini secara keseluruhan tidak terbukti shahih.”
Di antara indikasi kelemahan kisah ini, babwa riwayat-riwayat yang shahih tentang masuknya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah saat hijrah tidak menyebutkan –meskipun hanya secara implisit– apa yang bisa menjadi bukti kebenaran kisah ini. Bahkan riwayat-riwayat shahih ini menceritakan kata sambutan penduduk Madinah kala beliau tiba. Bukhari, dalam Shahih-nya bab hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ke Madinah, meriwayatkan hadis Anas bin Malik. Di dalamnya disebutkan, ‘Maka di Madinah ada yang mengatakan, ‘Nabi Allah datang, Nabi Allah datang.’ Lantas mereka menuju tempat tinggi untuk melihat, mereka mengucapkan, “Nabi Allah datang…”
Dan dalam hadis Bara’ bin Azib disebutkan,” …kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Aku tidak pernah melihat penduduk Madinah bersuka cita seperti suka cita mereka lantaran kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, para budak wanita meneriakkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang’.” Dalam riwayat lain, “Lantas para lelaki dan wanita naik ke atap rumah, sedang anak-anak dan para pelayan berhamburan di jalan-jalan. Mereka meneriakkan, ‘Wahai Muhammad, wahai Rasulullah. Wahai Muhamamd, wahai Rasulullah’.”
Sebagai catatan, Ash-Shalihi mengutip dari Muqairizi babwa syair ini diucapkan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari perang Badar. Berarti ini pendapat ke tiga. Tetapi telah dijelaskan bahwa riwayat syair ini tidak shahih. Ibnu Ishaq yang terkenal sangat memperhatikan sirah dan mengikuti peristiwa-peristiwanya tidak menyebutkan lagu ini dalam kitab sirahnya.
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan: 1 April 2010
Artikel www.KisahMuslim.com

Marah Kunci Keburukan









Ja’far bin Muhammad berkata, “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan.”


Kata Kunci Terkait: kisah marah, kunci marah, imam, cerita islami tentang marah, marah

Kisah Palsu: Unta Jantan yang Menampakkan Diri kepada Abu Jahal

Yunus bin Bukair menuturkan dari Ibnu Ishaq, “Seorang guru dari penduduk Mekah sejak tahun 40-an bercerita kepadaku, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan seterusnya.” Yunus menceritakan kisah panjang tentang perundingan antara kelompok kafir Mekah dan Rasulullahs shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Rasululalh shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak meninggalkan mereka, Abu Jahal berkata, ‘Hai orang-orang Quraisy, Muhammad tidak mau selain apa yang kalian lihat sendiri; menjelek-jelekkan agama kita, mencaci nenek moyang kita, membodohkan tetua kita, dan mencemooh Tuhan-Tuhan kita. Aku berjanji pada Allah, esok hari aku akan duduk menunggunya dengan membawa batu yang aku hampir tidak kuat membawanya. Jika ia sujud dalam shalatnya, aku akan menimpakan batu itu di kepalanya. Terserah, setelah itu kalian menyerahkan aku (pada keluarga besar Muhamamd shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau melindungiku. Biarlah Bani Abdi Manaf melakukan apa yang mereka mau.’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak akan menyerahkanmu, apa pun alasannya. Kerjakan apa yang engkau inginkan.’
Keesokan harinya, Abu Jahal mengambil batu seperti yang ia janjikan kemudian duduk menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seperti hari-hari biasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul pada pagi hari itu. Waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di Mekah dan kiblat shalat beliau ke arah Syam (Baitul Maqdis). Bila shalat, beliau menunaikannya di antara rukun Hajar Aswad dan rukun Yamani, serta memposisikan Ka’bah di antara tempat beliau berdiri dan Syam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat, sementara orang-orang Quraisy telah berdatangan dan duduk berkumpul di balai pertemuan, mereka menunggu apa yang akan dilakukan Abu Jahal. Kala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, Abu Jahal segera mengangkat batu lalu berjalan ke arah beliau. Ketika ia telah dekat, tiba-tiba ia mundur ketakutan dan wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar. Ia tidak lagi kuat menahan beban batu hingga batu itu terjatuh. Beberapa orang Quraisy berdiri mendatanginya. Mereka bertanya keheranan, ‘Kenapa engkau, wahai Abul Hakam?”
Masih dengan wajah pucat, ia menjawab, ‘Aku mendatanginya untuk melakukan apa yang telah aku utarakan pada kalian tadi malam. Tetapi, ketika aku telah dekat dengannya, muncul seekor unta jantan menghadangku. Demi Allah aku belum pernah melihat unat dengan kepala, leher, dan taring sebesar yang dimiliki unta itu. Ia ingin memangsaku hidup-hidup’.”
Ibnu Ishaq berkata, “Diceritakan kepadaku bahwa berkenaan dengan fenomena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu Jibril, andai ia nekat mendekat pasti Jibril mencabiknya’.”
Guru Ibnu Ishaq dalam riwayat ini majhul (tidak diketahui. Baihaqi berkata, “Bila Ibnu Ishaq tidak menyebutkan guru yang bercerita kepadanya, maka hadisnya tidak perlu ditanggapi.”
Berita tentang unta jantan itu juga sudah disebutkan dalam kisah orang dari Irasy, dan sanadnya dha’if sebagaimana telah dijelaskan. Keganjilan yang terdapat dalam riwayat ini adalah ucapan Abu Jahal “Aku berjanji pada Allah.” Padahal dalam riwayat Muslim yang akan disebutkan setelah ini, ia bersumpah atas nama Lata dan Uzza.
Hakim telah meriwayatkan kisah yang mirip dengan ini dari jalur Abudullah bin Shalih yang berkata, “Laits bin Sa’ad bercerita kepadaku, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dari Aban bin Shalih, dari Ali bin Abdillah bin Abbas, dari ayahnya Abbas bin Abdul Muthallib. Kemudian usai menyebutkan kisah ini, Hakim berkata, “Shahih.” Namun Dzahabi mengkritisinya dengan mengatakan,” Aku berkata, ‘Dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih. Ia bukan perawi yang bisa dijadikan pegangan, dan Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah matruk.”
Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang menuturkan, “Abu Jahal bertanya, ‘Apakah Muhammad berani mengotori wajahnya dengan debu di hadapan kalian?’ Dijawab, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Demi Lata dan Uzza, jika aku melihatnya melakukan hal itu, aku akan menginjak tengkuknya atau aku akan melumuri wajahnya dengan debu.”
Ia lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang shalat, ia berniat menginjak tengkuk beliau. Sejurus kemudian tidak ada mengejutkan mereka selain langkah mundul Abu Jahal seraya berusaha melindungi diri dengan kedua tangannya. Ditanyakan kepadanya, ‘Ada apa denganmu?’ Ia menjawab, ‘Sungguh ada parit penuh api, kengerian, dan sayap-sayap yang menghalangi antara aku dan dia.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Andai ia nekat mendekatiku niscaya para malaikat mencabik-cabiknya menjadi potongan-potongan’.”
Bukhari meriwayatkannya dengan ringkas dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas yang menuturkan, ‘Abu Jahal berkata, ‘sungguh jika aku melihat Muhammad shalat di samping Ka’bah, aku akan menginjak lehernya.’ Maka perkataan ini sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘jika ia benar melakukannya para malaikat akan mencabik-cabiknya’.”
Sebagai catatan, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Alasan mengapa hal ini terjadi pada Abu Jahal dan tidak pernah pada Uqbah bin Abi Mu’aith yang telah menumpahkan kotoran perut unta di punggung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau shalat, adalah meskipun keduanya sama-sama melancarkan gangguan saat beliau shalat, Abu Jahal lebih kurang ajar dengan menyampaikan ancaman, menuduh hamba yang taat kepada-Nya, dan ingin menginjak leher beliau. Hal ini jelas keterlaluan hingga mengakibatkan penyegeraan hukuman bila ia benar-benar melaksanakan. Juga, karena isi perut unta belum tentu najis. Di samping itu, Uqbah telah diberi alasan setimpal berkat doa buruk beliau kepadanya dan orang-orang yang berperan dalam tindakannya itu. Mereka semua terbunuh di perang Badar.” Kita tahu bahwa Abu Jahal adalah orang yang mencetuskan ide menumpahkan isi perut unta pada beliau seperti diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya.
Pembaca yang mulia, semoga Allah menjaga Anda, lihatlah bagaimana Abu Jahal tetap dalam kekufuran dan permusuhannya padahal ia telah nyata-nyata menyaksikan pertolongan dan perlindungan Allah untuk Rasul-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan: 1 April 2010
 Artikel www.KisahMuslim.com

Terkumpulnya Kenikmatan Dunia

Al-Munawi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini,
barangsiapa yang terkumpul padanya kesehatan badan, jiwanya merasa aman
kemanapun ia pergi, kebutuhan hari tersebut tercukupi dan keluarganya
dalam keadaan selamat, maka sungguh Allah telah mengumpulkan untuknya
seluruh jenis kenikmatan, yang siapapun berhasil menguasai dunia
tidaklah akan mendapatkan kecuali hal tersebut.
” (Faidhul Qadir oleh al-Munawi, 9/387).
Artikel KisahMuslim.com
Dinukil dari www.PengusahaMuslim.com

Puasanya Dua Wanita PenggunjingPuasanya Dua Wanita Penggunjing

Dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada dua orang wanita yang berpuasa, lalu ada yang menceritakan perihal keduanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, di sini ada dua orang wanita yang berpuasa, keduanya hampir mati karena kehausan.” Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam malah berpaling dan tidak menggubrisnya. Orang itu pun datang lagi kepada beliau dan kembali menceritakan kejadian tersebut. Dia berkata, “Wahai Rasulullah keduanya hampir mati.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Panggil keduanya.” Akhirnya kedua wanita itu pun datang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan sebuah ember, lalu beliau bersabda, “Muntahlah!” Maka salah satu dari keduanya pun muntahh, ternyata dia memuntahhkan air nanah bercambur darah sehingga memenuhi setengah ember. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita yang satunya untuk muntah, dan dia pun memuntahkan nanah bercampur darah sehingga ember itu penuh, lalu beliau bersabda, “Kedua wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah namun malah berbuka dengan yang diharamkan oleh-Nya, keduanya duduk-duduk untuk makan daging manusia.”

Kemasyhuran Kisah

Kisah ini cukup masyhur dan banyak disampaikan oleh sebagian penceramah terutama saat bulan Ramadhan untuk memperingatkan kaum muslimin yang sedang berpuasa agar tidak melakukan perbuatan haram semacam menggunjing.

Derajat Kisah

Kisah ini LEMAH. Syaikh al-Albani (Silsilah Abdits Dhoifah, no.519) menyebutkan hadis:
Sesungguhnya kedua orang wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah namun berbuka dengna apa yang diharamkan oleh Allah dan keduanya. Salah seorang dari keduanya duduk pada yang lainnya lalu keduanya memakan daging manusia.
Kemudian beliau (al-Albani) berkata, “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:431) dari seseorang dari Ubaid maula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: -lalu rowi hadis ini menceritakan kejadian di atas-. Sanad hadis ini lemah karena ada seorang rowi yang tidak disebut namanya.
Al-Hafizh al-Iraqi (1:211) berkata, ‘Dia seorang yang tidak dikenal.’ Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thoyalisi (1:188), beliau berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Robi dari Yazid dari Anas.’ Sanad ini sangat lemah. Robi’ (yang dimaksud) ini adalah Robi’ bin Shobih, dia seorang yang lemah. Sedangkan Yazid (yang dimaksud di sini) adalah Yazid bin Aban ar-Ruqosyi, dia seorang yang matruk (hadisnya ditinggalkan).”

Pelajaran dari Kisah

Pelajaran pertama
Kendati diketahui bahwa hadis ini lemah, janganlah seorang pun beranggapan bahwa ghibah (menggunjing orang lain) saat puasa diperbolehkan. Pembahasan tentang lemahnya hadis ini sama sekali tidak menunjukkan hal itu. Akan tetapi, perlunya dibahas tentang kelemahan kisah ini hanya untuk menunjukkan bahwa kisah ini tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengenai masalah ghibah, tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa ghibah adalah haram, baik pada saat puasa maupun tidak. Ketika menafsirkan Surat Al-Hujurot ayat 12 di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ghibah haram menurut kesepakatan para ulama dan tidak ada perkecualian sedikit pun selain yang lebih kuat masalahnya seperti untuk jarh dan tadil atau untuk sebuah nasihat.”
Imam al-Qurthubi berkata, “Para ulama sepakat bahwa ghibah merupakan dosa besar.”
Terlalu banyak dalil yang menunjukkan atas hal itu, di antaranya adalah ayat di atas dan sabda Rasullah shallallahu alaihi wa sallam,
Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada saat di-miraj-kan saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Maka aku bertanya, Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang makan daging manusia (berbuat ghibah, pen.) dan mencela kehormatan orang lain.” (HR. Abu Dawud: 4878, lihat Shohih Targhib: 2839)
Di samping itu, orang yang melakukan ghibah saat berpuasa tidak akan berpahala. Dari Abu Hurairah beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan haram dan malah mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhori)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai, maka jangan berkata kotor, dan jangan berbuat kebodohan. Jka ada seseorang yang memerangimu atau mencelamu maka katakanlah: saya sedang puasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pelajaran Kedua
Apakah ghibah membatalkan puasa ataukah tidak? Jawabannya, ghibah dan perbuatan haram lainnya tidaklah membatalkan hakikat puasa. Hanya perbuatan haram tersebut bisa membatalkan atau mengurangi pahala puasa, sebagaimana keterangan di atas. Sementara itu, Imam Ibnu Hazm menganggap bahwa semua perbuatan haram tersebut bisa membatalkan puasa seseorang. Beliau berkata (Al-Muhalla, no. 734), “Puasa juga bisa batal dengan menyengaja berbuat maksit, apa pun perbuatan maksiat tersebut tanpa ada satu pun yang terkecuali, jika dia melakukannya sengaja dan ingat kalau sedang puasa. Seperti menyentuh atau mencium selain istrinya, berdusta, ghibah, namimah (mengadu domba), sengaja meninggalkan sholat, berbuat zhalim (aniaya), atau perbuatan haram lainnya.”
Namun, yang benar –insya Allah- adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ghibah tidaklah membatalkan puasa. Wallahu alam.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisit 10 Tahun Ke-8 1430/2009
Artikel www.KisahMuslim.com