Perang Khandak
berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke atas
berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya
saat itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya
selama ini: berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai
medan jihad tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat
perang membuka kota Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan
termasuk pemuda yang menonjol di medan perang. Dialah, Abdullah ibn
Umar, atau Ibn Umar.
"Penting sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari
penduduk Madinah. Yang paling kukhawatirkan ada tiga orang: Husain ibn
Ali, Abdullah ibn Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat
kepada anaknya, Yazid, yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota.
Tiga orang itu telah menyatakan penentangannya pada pengangkatan Yazid
ibn Muawiyah.
"Adapun Husain ibn
Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya. Adapun Abdullah ibn Zubair,
kalau kamu berhasil mengatasinya, kamu harus menghancurkannya hingga
berkeping-keping. Sedangkan Ibn Umar, orang ini sebenarnya terlalu sibuk
dengan urusan akhirat. Asal kamu tidak mengusik urusan akhiratnya ini,
maka ia akan membiarkan urusan duniamu."
Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis
riwayat, kaum muslimin masa itu sedang jaya-jayanya. Muncul daya tarik
harta dan kedudukan membuat sebagian orang tergoda memperolehnya. Maka
para sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi itu dengan mempertegas
dirinya sebgai contoh gaya hidup zuhud dan salih, menjauhi kedudukan
tinggi.
Ibn Umar
pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk beribadah, dan
berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya. Akan halnya
soal salat malam ini, ada riwayatnya. Di masa hayat Rasulullah, Ibn
Umar mendapat karunia Allah. Setelah selesai salat bersama Rasulullah,
ia pulang, dan bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain
beludru. Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain beledru itu akan
menerbangkanku ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke neraka,
memperlihatkan semua bagian yang ada di neraka. Keduanya menjawab apa
saja yang kutanyakan mengenai keadaan neraka," begitulah diungkapkan Ibn
Umar kepada saudarinya yang juga istri Rasul, Hafshah, keesokan
harinya.
Hafshah
langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah SAW
bersabda, ni’marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili
fayuksiru, akan menjadi lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia
sering salat malam dan banyak melakukannya. Semenjak itulah, sampai
meninggalnya, Ibn Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik ketika
mukim atau bersafar. Ia demikian tekun menegakkan salat, membaca
Al-Quran, dan banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia amat menyerupai
ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata tatkala
mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Quran.
Soal ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi,
"Suatu ketika kubacakan ayat ini kepada Abdullah ibn Umar." 'Ubaid
membacakan QS 4:41-42 yang artinya: Maka bagaimanakah (halnya orang
kafir nanti), apabila Kami datangkan seseorang saksi (rasul) dari
tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai saksi atas
mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan yang
mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka tidak
dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun." Maka Ibn Umar
menangis hingga janggutnya basah oleh air mata.
Pada kesempatan lain, Ibn
Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca QS 83:-6 yang
maknanya: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran.
Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta
dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan
nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam. Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir
ayat ke enam, "yauma yaquumun naasu lirabbil 'alamiin", ketika manusia
berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Sembari air matanya bercucuran,
sampai akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa duka mendalam dan banyak
menangis.
Abdullah
ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan begitu
mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila
ia mendnegar nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis. Ketika
ia lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik di
Mekah maupun di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas butiran air
bening meluncur dari sudut matanya.
Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai
mimpi yang haq, karena mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok
yang tak punya minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah
nampak sejak ia remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut
berjihad.
Dermawan.
Bagaimana mungkin Ibn Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang
ia pedagang yang sukses? Bisa saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan
banyak karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari
Baitul Maal. Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk
dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang
buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara
hamba-hambanya.
Suatu
ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju
dingin. Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi
melihat Ibn Umar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya dengan
berutang. Maka Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya.
Bukankah Abu Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar) menerima kiriman empat
ribu dirham dan sehelai baju dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli
pakan hewan tunggangannya? "Tidak sampai malam hari, uang itu telah
habis dibagikannya. Mengenai baju dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu
ia pergi keluar, saat kembali ia sudah tak lagi memakai baju dingin
itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu, Ibn Umar bilang sudah
diberikannya kepada seorang miskin," demikian jawab keluarga Ibn Umar.
Segera saja Ayub ibn
Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi dan
berteriak. "Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap
dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu
dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan
tunggangannya makanan secara berutang."
Kedermawanan Ibn Umar antara lain juga
ditunjukkan dengan sikap hanya memberi mereka yang fakir miskin. Ia pun
jarang makan sendirian. Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap
diajaknya makan bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri
lantaran mengundang jamuan makan untuk kalangan hartawan. "Kalian
mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan
orang-orang kelaparan."
Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan
kedermawanannya. Dalam kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar.
Sifat santunnya, terutama kepada fakir miskin, bukan basa-basi.
Orang-orang fakir dan miskin sudah duduk menunggu di tepi jalan yang
diduga bakal dilewati Ibn Umar, dengan harapan mereka akan terlihat oleh
Ibn Umar dan diajak ke rumahnya.
Hati-hati. Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang
kalau dimintai fatwa enggan berijtihad. Karena takut berbuat kesalahan,
meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak berusia 13 tahun memberi
satu pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar
ijtihadnya. Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun menolak jabatan
kadi atau kehakiman. Padahal ini jabatan tertinggi di antara jabatan
kenegaraan dan kemasyarakatan, jabatan yang juga "basah".
Pernah khalifah Utsman
r.a. mau memberi jabatan kadi, tapi Ibn Umar menolak. semakin Khalifah
mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas menolak.
"Apakah antum tak hendak
menaati perintahku?"
"Sama sekali tidak. Hanya, saya dengar para hakim itu
ada tiga macam: pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam
neraka; kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka;
dan ketiga, yang berijtihad sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam
keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan
saya atas nama Allah memohon kepada antum agar dibebaskan dari jabatan
itu."
Khalifah
menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak menyamnpaikan alasan
penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang bertakwa lagi
salih mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti jejak Ibn Umar. Kalau
sudah demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan kadi yang takwa
dan salih.
Penolakan
itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih melihat di antara sahabat
Rasulullah masih banyak yang salih dan wara’ yang lebih pantas memegang
jabatan itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan itu takkan sampai
berakibat jatuhnya posisi kadi ke tangan yang tak pantas memegangnya.
Calon Khalifah
Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq,
adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika mendapat
serangan mematikan dari Abu Lu’lu’ah. Dalam keadaan terluka parah,
sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran. "Wahai Amirul Mu’minin,
bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang wakil yang akan
menggantikan engkau?"
"Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah
masih hidup, niscaya aku akan tunjuk dia sebagai pengganti." Salah satu
sahabat berkata, "Saya akan menunjukkan nama pengganti itu. Tunjuklah
Abdullah ibn Umar."
"Demi Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk
orang yang kau usulkan itu. Apa yang kau harapkan dari keluargaku untuk
pekerjaan ini, sudah cukuplah dan dari keluargaku aku seorang diri saja
yang akan diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal
mengenai umat Muhamad saw ini."
Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama
penggantinya. Sekali lagi para sahabat menemui Khalifah, mendorong
menunjuk calon penerusnya. Khalifah pun memberi nama-nama calon itu.
"Hendaklah kamu berpegang teguh kepada calon yang terdiri dari beberapa
orang, dan orang yang kucalonkan ini ialah beberapa orang yang sewaktu
Rasulullah wafat, beliau rela kepada orang-orang ini, dan orang-orang
ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk surga. Mereka ialah Ali
ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn
Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar."
Akhirnya masuk juga nama
anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibn Umar hanya berhak memilih, tapi
tidak berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah ibn Umar sampai
mendorong terpilihnya Usman ibn Affan dengan pertimbangan, Utsman ibn
Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki kelebihan dan keistimewaan.
Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami dari dua anak perempuan
Rasulullah SAW.
Tak
heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar
kerap dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang
jabatan kadi yang kemudian ditolaknya dengan hujjah, alasan yang kuat.
Syahid setelah
Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya,
Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612
Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut ayahnya berhijrah.
Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di Madinah, di
masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh menjadi pusat
pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.
Kegairahan Abdullah seolah melengkapi
kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu Islam, karena ia
mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh perhatian
serius. Yakni tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut para periwayat,
Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia tinggal di Madinah,
yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi
berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal
Nabi banyak diungkapkan penduduk Madinah.
Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat
yang lainnya yakni Abu Hurairah dalam bidang hadis (tradisi) Nabi SAW.
Ia periwayat hadis kedua terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni
meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal Quran secara sempurna. Selain
itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi SAW, dari para sahabat
Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.
Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia
menjadi salah satu mata air pengetahuan menyangkut hadis yang banyak
dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari Nabi atau bertanya
kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan
perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia juga
saking berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya
kepada Rasulullah, kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi,
menjaga substansi ajaran sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat
Abdullah ibn Umar bersama Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi
golongan yang kemudian disebut golongan sunni.
Abdullah ibn Umar memang
hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya ada masa-masa penuh
pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak
berubah menjadi kasar dan pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah,
Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di
masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn
Umar ada di masjid itu.
Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti,
betapa kelembutan dan kesabaran Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap
kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar berdiri masih saat Gubernur Hajjaj
masih di mimbar, dan berkata, "Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan
barang yang diharamkan Allah. Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau
membunuh banyak wali Allah." Al Hajjaj menyetop pidatonya. "Siapakah
orang bicara tadi?" Seseorang menjawab, itu Abdulah ibn Umar. Lalu
Hajjaj meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang yang sudah pikun."
Seteleh Al-Hajjaj
kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah ibn
Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau beracun
itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan,
Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibn Umar tak
menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn
Umar tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.
Ibn Umar wafat tahun 72
Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab sebagaimana
ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn Khattab
hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara’
dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar mengatakan,
zaman ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan
seteguh dia.
Menghindari
Jabatan, Antikekerasan
Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad
berkumandang. Tetapi, sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasaan,
terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati ia
berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi
khalifah.
Hasan
r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat
Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn
Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta
orang-orang berbai’at kepada anda." Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah,
seandainya bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan
daku." Massa di luar mengancam. "Anda harus keluar. Atau, kalau tidak
kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam begitu, Umar tak tergerak. Massa
pun bubar.
Sampai
suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn
Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin
tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas sebagian
lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang
dicapai dengan cara semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan
terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling
mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas menghardik Ibn Umar.
"Tak seorang pun
lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali engkau."
"Kenapa? Demi Allah tak
pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah dengan
jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" saut Ibn Umar
heran.
"Seandanya
kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."
"Saya tak suka kalau
dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."
Lagi-lagi, Ibn Umar
menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski demikian,
saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibn Umar tetap ada.
Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa kali menduduki jabatan
khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda agar kami
berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."
"Lantas apa yang kita
lakukan terhadap orang-orang masyriq?"
"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."
"Demi Allah, aku tak
sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia yang
terbunuh disebabkan olehku."
Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan
melontarkan syair.
"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan
kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa." Abu Laila yang
dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn Yazid.
Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin
netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu
diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata 'Marilah salat’,
akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju kebahagiaan’, akan
kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'Marilah membunuh saudaramu
seagama dan merampas hartanya’ aku katakan: tidak!"
Ini bukan karena Ibn Umar
lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih umat Islam
berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. Pernah, Abul
'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa sepengetahuannya.
Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan
pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan
lalu berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh
menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.
Meskipun pada akhirnya,
pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan
karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak
mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka." Tapi kemudian, Ibn Umar
tak mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang
menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan pengikutnya kalau ia merasa
Ali di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, "Karena Allah
telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim." Lalu dibacanya
Q.2:193, perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga
orang-orang beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.
Ibn Umar melanjutkan,
"Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik hingga agama
itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Aku
sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram
dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah
dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang
mengucapkan "laa ilaaha illallah"?
Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar,
bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar.
Menurutnya Abdullah bin Umar melarikan diri dari urusan kenegaraan
karena sifatnya memang senang menghindar dari ikut campur dalam urusan
apapun, baik yang boleh maupun yang terlarang. Wallahu’alam
http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=88:abdullah-ibn-umar-sahabat-rasul-sahabat-malam&catid=14:kisah-kisah-sahabat&Itemid=75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar