Ketika makin keras dan kuat tantangan kaum Quraisy kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beserta pengikutnya, sebagian orang Quraisy
menghasut Abul Ash dan berkata, “Ceraikanlah istrimu wahai Abul Ash!
Pulangkan ia rumah ayahnya dan kami akan menikahkanmu dengan wanita mana
saja yang engkau sukai dari wanita-wanita Quraisy yang terbaik.” Karena
begitu murni dan dalam cinta Abul Ash kepada Zainab, maka ia pun
menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku, aku tidak
ingin menggantinya dengan wanita mana saja di dunia ini.”
Di saat ayah dan keluarganya diembargo, Zainab hanya mampu berdoa
untuk keselamatan ayah, ibu, dan keluarga serta saudara-saudara
seakidah. Waktu pun berlalu, dan embargo pun selesai, namun ternyata
datang musibah baru yang tak kalah beratnya, yaitu wafatnya paman
ayahnya, Abu Thalib, yang disusul dengan wafatnya ibu yang sangat ia
cintai. Zainab pun dirundung kedukaan, ditambah lagi suami tercinta
belum juga luluh hatinya untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Saat itu negeri Mekah terasa sepi bagi Zainab. Ibundanya yang biasa
ia jenguk sekarang telah tiada, sementara ayahnya hijrah ke Yatsrib
bersama sahabat karib beliau, Abu Bakar, kemudian saudari-saudarinya pun
menyusul ke sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar