Pada malam saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
perjalanan isra’ ditemani oleh Jibril, beliau mencium aroma
yang wangi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Wahai Jibril , aroma wangi apa ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah aroma
Masyithah, putri Fira’un beserta anak-anaknya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana
ceritanya?”
Kemudian Jibril mengisahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
Pada suatu hari, tatkala Masyithah sedang menyisir rambut putri
Fir’aun, tiba-tiba sisirnya jatuh dari tangannya. Dengan seketika dia
berkata, “Bismillah (dengan nama Allah).”
Sang Putri bertanya, “Ayahanda?”
“Tidak,” jawabanya. “Tetapi Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Putri berkata, “Saya akan laporkan kepada ayahanda.”
Dia menyahut, “Silakan.”
Fir’aun lantas memanggilnya seraya bertanya, “Wahai fulanah, apakah
ada Tuhan selian diriku?”
Jawabnya, “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Mendengar jawaban itu Fir’aun menjadi berang, lalu memerintahkan anak
buahnya agar memanaskan patung sapi hingga meleleh, kemudian menyuruh
agar tukang sisir itu beserta anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya.
Masyithah berkata, “Sebelum saya meninggal, saya memohon kepadamu
satu permohonan.”
“Apa permohonanmu?” tanya Fir’aun.
Dia menjawab, “Saya mohon agar tuan nanti mengumpulkan tulangku dan
tulang anak-anakku dalam satu kafan, lalu tuan kuburkan kami.”
Fir’aun berkata, “Itu adalah hal yang sangat mudah.”
Akhirnya, anak-anaknya dilemparkan satu persatu di hadapannya hingga
tiba giliran anak bayi yang masih disusuinya. Seakan-akan sang ibu
terlambat disebabkan rasa iba terhadap bayinya. Seketika itu bayinya
dapat berbicara, ‘Wahai Ibu, masuklah! Sesungguhnya siksaan di dunia
lebih ringan daripada siksa akhirat.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Ada empat bayi yang dapat berbicara, yaitiu
Isa bin Maryam, Shahib Juraij, saksi Yusuf, dan anak Masyithah
(tukang sisir) Fir’aun.”
Takhrij Kisah
Kisah ini juga sangat masyhur. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-Nya
(1/309), at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (11/450), dan
al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar (1/37). Seluruhnya
dari jalan Hammad bin Salamah, dari Atha’ bin Saib, dari Said bin
Jubair, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Derajat Kisah
Dha’if. Disebabkan Atha’ bin Saib, beliau mengalami
perubahan hafalan di akhir hidupnya. Hal ini dalam bidang ilmu musthalah
hadits disebut Mukhtalith.
Dari penjelasan para pakar ahli hadits dapat disimpulkan, bahwa
Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Atha’ sebelum berubah hafalan dan
juga setelah berubah hafalannya. Oleh karena itu, riwayatnya tertolak
disebabkan tidak bisa dibedakan.
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Atha’ bin Saib
telah berubah hafalannya. Hammad bin Salamah meriwayatkan darinya
sebelum hafalannya berubah dan sesudahnya juga berbeda, dengan dugaan
sebagian orang-orang masa kini.” (Adh-Dha’ifah, 2/272, no.
880). Beliau juga berkata, “Sebagian rawi meriwayatkan hadits
dari mukhtalith (berubah hafalannya) sebelum dan sesudahnya. Di
antara mereka adalah Hammad bin salamah, beliau mendengar dari Atha’
sebelum dan sesudah perubahan hafalan Atha’ sebagaimana dijelaskan
al-Hafidz dalam at-Tahdzib. Dengan demikian, maka tidak boleh
ber-hujjah dengan haditsnya. Berbeda dengan sebagian ulama ahli
hadits masa kini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni
kita dan mengampuninya.” (Adh-Dha’ifah, 3/165, no. 1053).
Kesimpulannya, kisah ini adalah dha’if sehingga kita
temukan penguatnya. Kisah ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam
banyak kitabnya (Al-Isra’ wal Mi’raj, hal. 80, Dha’if Jami’
Shaghir, 10242).
Sumber: Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah
Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.KisahMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar