Jumat, 08 Juni 2012

Kisah Tak Nyata: Tentang Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu

Semoga Allah Merahmati Abu Dzar, Ia Berjalan Seorang Diri

Saat membicarakan perang Tabuk, Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Abu Dzarr mencela untanya. Ketika unta itu terlalu lamban berjalan, ia mengambil bekalnya dan menggendongnya. Kemudian berjalan kaki ia berangkat menelusuri jejak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tengah beristirahat. Saat seorang muslim memandang jauh ke padang pasir, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki seorang diri.’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga ia Abu Dzar.’ Setelah orang-orang mencoba mengamatinya dari kejauhan, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, ia adalah Abu Dzarr.’ Lantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, ‘Semoga Allah merahmati Abu Dzarr, ia berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri’.”

Seperti itulah Ibnu Ishaq menyebutkannya. Kemudian ia mengiringinya dengan mengatakan, “Lalu Buraidah bin Sufyan Al-Aslami bercerita kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, dan seterusnya.” Ia menceritakan kisah kematian Abu Dzarr di Rabdzah (sebuah desa di Madinah) dan ucapan Ibnu Mas’ud, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam benar, engkau berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri.” Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan riwayat kisah ini setelah ia menyandarkan pada Ibnu Ishaq. Dalam Al-Mathalibul Aliyah ia berkata, “Al-Qurazhi ini aku tidak mengatahuinya. Jika ia adalah Muhammad bin Ka’ab, maka hadis ini terputus.”
Hakim meriwayatkan dari jalur Ibnu Ishaq, kemudian ia berkata, “Hadis ini bersanad shahih, dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Namun Dzahabi mengoreksinya dengan mengatakan, “Ada kemursalan pada sanadnya.” Mungkin maksudnya, riwayat Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Mas’ud itu munqathi’ sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar. Tetapi caccat terbesar hadis ini adalah Buraidah bin Sufyan, guru Ibnu Ishaq. Bukhari berkata, “Ia perlu dicermati.” Daruquthni berkata, “Ia ditinggalkan.” Uqaili menuturkan, “Ahmad ditanya tentang hadisnya, maka ia menjawab, “Sebuah petaka.”
Hadis ini dilemahkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrijnya pada kitab As-Siyar karya Dzahabi. Jilid ke-12 dari kitab As-Silsilatudh Dha’ifah telah dicetak dan hadis ini tercantum di dalamnya. Syaikh Al-Albani menilai hadis ini cacat lantaran keberadaan Buraidah Al-Aslami. Adapun keterputusan sanad antara Al-Qurazhi dan Ibnu Mas’ud, Al-Albani berkata, “Dalam Al-Tarikh (1:215). Bukhari telah meriwayatkan dengan sanad kuat bahwa Al-Qurazhi mendengar darinya (Ibnu Mas’ud). Jadi, lebih tepat menilai cacat hadis ini dengan Buraidah.”
Anehnya,, Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan hadis ini dalam kitab tarikhnya lalu mengatakan, “Sanadnya hasan dan mereka tidak meriwayatkannya.” Padahal, Ibnu Qayyim ketika menyebutkannya dalam Zadul Ma’ad, ia berkata, “Kisah ini perlu dilihat kembali.” Kemudian ia membawakan riwayat Ibnu Hibban yang berbeda dan sanadnya telah dihasankan oleh Al-Armauth. Tetapi Al-Albani mengatakan, “Hadits dha’if dan sanadnya guncang.”

Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010
Artikel www.KisahMuslim.com

Masyithah (Wanita Tukang Sisir) Anak Fir’aun

Pada malam saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan isra’ ditemani oleh Jibril, beliau mencium aroma yang wangi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Jibril , aroma wangi apa ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah aroma Masyithah, putri Fira’un beserta anak-anaknya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana ceritanya?”
Kemudian Jibril mengisahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Pada suatu hari, tatkala Masyithah sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya jatuh dari tangannya. Dengan seketika dia berkata, “Bismillah (dengan nama Allah).”
Sang Putri bertanya, “Ayahanda?”
“Tidak,” jawabanya. “Tetapi Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Putri berkata, “Saya akan laporkan kepada ayahanda.”
Dia menyahut, “Silakan.”
Fir’aun lantas memanggilnya seraya bertanya, “Wahai fulanah, apakah ada Tuhan selian diriku?”
Jawabnya, “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Mendengar jawaban itu Fir’aun menjadi berang, lalu memerintahkan anak buahnya agar memanaskan patung sapi hingga meleleh, kemudian menyuruh agar tukang sisir itu beserta anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya.
Masyithah berkata, “Sebelum saya meninggal, saya memohon kepadamu satu permohonan.”
“Apa permohonanmu?” tanya Fir’aun.
Dia menjawab, “Saya mohon agar tuan nanti mengumpulkan tulangku dan tulang anak-anakku dalam satu kafan, lalu tuan kuburkan kami.”
Fir’aun berkata, “Itu adalah hal yang sangat mudah.”
Akhirnya, anak-anaknya dilemparkan satu persatu di hadapannya hingga tiba giliran anak bayi yang masih disusuinya. Seakan-akan sang ibu terlambat disebabkan rasa iba terhadap bayinya. Seketika itu bayinya dapat berbicara, ‘Wahai Ibu, masuklah! Sesungguhnya siksaan di dunia lebih ringan daripada siksa akhirat.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Ada empat bayi yang dapat berbicara, yaitiu Isa bin Maryam, Shahib Juraij, saksi Yusuf, dan anak Masyithah (tukang sisir) Fir’aun.”
Takhrij
Kisah ini juga sangat masyhur. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-Nya (1/309), at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (11/450), dan al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar (1/37). Seluruhnya dari jalan Hammad bin Salamah, dari Atha’ bin Saib, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

Derajat Kisah


Dha’if
. Disebabkan Atha’ bin Saib, beliau mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Hal ini dalam bidang ilmu musthalah hadits disebut Mukhtalith.
Dari penjelasan para pakar ahli hadits dapat disimpulkan, bahwa Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Atha’ sebelum berubah hafalan dan juga setelah berubah hafalannya. Oleh karena itu, riwayatnya tertolak disebabkan tidak bisa dibedakan.
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Atha’ bin Saib telah berubah hafalannya. Hammad bin Salamah meriwayatkan darinya sebelum hafalannya berubah dan sesudahnya juga berbeda, dengan dugaan sebagian orang-orang masa kini.” (Adh-Dha’ifah, 2/272, no. 880). Beliau juga berkata, “Sebagian rawi meriwayatkan hadits dari mukhtalith (berubah hafalannya) sebelum dan sesudahnya. Di antara mereka adalah Hammad bin salamah, beliau mendengar dari Atha’ sebelum dan sesudah perubahan hafalan Atha’ sebagaimana dijelaskan al-Hafidz dalam at-Tahdzib. Dengan demikian, maka tidak boleh ber-hujjah dengan haditsnya. Berbeda dengan sebagian ulama ahli hadits masa kini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kita dan mengampuninya.” (Adh-Dha’ifah, 3/165, no. 1053).
Kesimpulannya, kisah ini adalah dha’if sehingga  kita temukan penguatnya. Kisah ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam banyak kitabnya (Al-Isra’ wal Mi’raj, hal. 80, Dha’if Jami’ Shaghir, 10242).


Sumber: Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.KisahMuslim.com

Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu Duel dengan Jin?

ini begitu panjang. Intinya, bahwa pada masa Hudaibiyyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tertimpa kehausan yang sangat, sehingga beliau menyuruh sebagian sahabat untuk mencari air di sumur. Namun sumur tersebut sangat angker, sehingga banyak sahabat yang takuk. Kemudian Ali bin Thalib, dengan ditemani beberapa sahabat, berani maju tak gentar menghadapi suara-suara aneh, api-api yang menjilat, angin yang kencang, dan kepala-kepala yang bergelantungan. Para sahabat di belakang Ali merinding ketakutan, tetapi Ali gagah melangkah menebas kepala-kepala itu, dan akhirnya dia pun mengambil air dari sumur angker tersebut.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur di kalangan Rafidhah (agama Syi’ah –ed.), dan juga sebagian awam dari Ahli Sunnah, di mana mereka mereka beranggapan bahwa Miqat Dzul Hulaifah disebut Bi’r (Sumur Ali) karena Ali berduel dengan jin di sana.
Kisah ini dikeluarkan oleh al-Khara’ithi dalam Hawatiful Jinan, hal. 167-172, dari jalur ‘Umarah bin Zaid, dari Ibrahim bin Sa’ad, dari Muhammad bin Ishar, dari Yahya bin Abdillah bin , dari ayahnya, dari Ibnu Abbas.
Derajat Kisah
Maudhu’. Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan akan bathilnya cerita ini, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Minhajus Sunnah, 8/161, Majmu’ Fatawa, 4/491-492). Sebab kecacatannya, karena Umarah bin Zaid adalah pemalsu hadits. Demikian juga Yahya bin Abdillah bin Harist, dia seorang yang lemah.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kisah panjang yang munkar sekali.” (Al-Bidayah wa Nihayah, 2/344).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam kisah ini ada kelemahan.” (Al-Ishabah, 1/498).
Dzul Hulaifah atau Bi’r Ali?
Miqat penduduk Madinah atau jamaah haji yang lewat Madinah adalah Dzul Hulaifah (sebuah nama desa yang besar di jalan Madinah dulu ) sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Ada pun penamaannya dengan “Bi’r Ali” sebagaimana yang populer di masyaraat, maka hendaknya diganti. Sebab, bagaimana pun lafadz yang tertera dalam hadits itu lebih utama. Apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bi’r Ali adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berduel dengan jin di sumur tersebut, sehingga karena itulah disebut Bi’r Ali.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang awam yang jahil menamainya (Dzul Hulaifah) dengan Bi’r Ali, karena prasangka mereka bahwa Ali pernah berduel dengan jin di sana. Padahal ini adalah suatu kedustaan, sebab tidak seorang pun di antara sahabat yang membunuh jin. Sedangkan Ali lebih tinggi derajatnya untuk duel melawan jin,” (Majmu’ Fatawa, 26/100. Lihat juga Manasik Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hal. 4, Syarh Umdah, 2/314-315).
Syaikh Mula Ali al-Qari rahimahullah juga berkata, “Dzul Hulaifah. Di tempat ini dahulu ada sumur yang disebut oleh orang-orang awam dengan Bi’r Ali. Konon ceritanya, karena beliau duel dengan jin di sumur tersebut. Namun, ini hanyalah cerita dusta sebagaimana disebutkan Ibnu Amiril Haj.” (Al-Maslak al-Mutaqassith, hal. 79. Lihat juga Qashashun Laa Tatsbutu, Masyhur Hasan Salman, 7/95-119).


Sumber: Waspada Terhadap Kisah-kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.KisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.

Demonstrasi Umar bin Khaththab dan Hamzah Radhiallahu ‘Anhuma

Tatkala Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu telah memeluk agama Islam dan disambut takbir oleh kaum Muslimin pada waktu itu, dia lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran?” tanya Umar.
“Ya,” jawab Nabi.
Umar berkata, “Kalau begitu, lantas mengapa kita bersembunyi? Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, kami akan keluar.”
Akhirnya, mereka pun keluar beramai-ramai menjadi dua barisan. Barisan pertama bersama Umar dan barisan lainnya bersama Hamzah, hingga mendatangai masjid. Quraisy melihat dan mereka merasa mendapatkan pukulan berat saat itu.
Takhrij
Kisah ini cukup masyhur dan dijadikan dalil untuk melegalkan aksi demostrasi yang sekarang marak digelar oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Diriwayatkan Abu Nuaim dalam al-Hilyah, 1/40 dan ad-Dalail, 194 dari Muhammad bin Ahmad bin Hasan, dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, dari Abdul Hamid bin Shalih, dari Muhammad bin Aban, dari Ishaq bin Abdullah, dari Aban bin Shalih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Umar bin Khaththab.
Derajat Kisah
Maudhu’. Kisah ini lemah sekali, sebab kecacatannya karena di dalam sanadnya terdapat pe-rawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah, sedangkan dia (ditinggalkan) haditsnya sebagaimana dikatakan Nasai, al-Bukhari ad-Daruquthni, Ibnu Abi Hatim, dan lain sebagainya.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa kisah ini lemah karena bersumber dari Ishaq bin Abi Farwah, sedangkan dia adalah rawi yang lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Seandainya kisah ini shahih, maka kejadian ini di awal Islam yakni sebelum sempurnanya syariat (Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 8/257).
Demonstrasi Bukan Solusi
Demonstrasi yaitu pengungkapan kemauan secara beramai-ramai, baik setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk atau panji-panji, poster, dan lain sebagainya, yang berisikan tulisan menggambarkan tujuan demonstrai tersebut (Kamus Istilah Populer, hal. 62).
Tidak diragukan lagi, bagi seseorang yang mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh berdasarkan beberapa argumen sebagai berikut:
1.    Demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama
Cara atau metode dakwah ilallah telah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan memasang sepanduk, meneriakkan yel-yel, dan sebagainya, ke rumah Abu Jahal atau lainnya. Apalagi bersama para wanita yang dianjurkan agar tetap melazimi “istana kerajaan” (rumah)-nya. Kalaulah memang ada manfaat, maka hal itu lebih kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkannya.
2.    Demonstrasi termasuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir
Tidak diperselisihkan lagi oleh siapa pun bahwa demonstrasi adalah hasil produk orang-orang kafir. Maka, sungguh mengherankan sikap kaum muslimin yang langsung menelan produk barat ini. Mengapa kaum muslimin menelan produk impor barat ini?! Bukankah mereka selalu mendengungkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu, sehingga kamu mengikuti agama mereka…. “ (Qs. al-Baqarah: 120).
3.    Kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak
Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syariat Islam memerintahkan atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya, baik dari jarak dekat maupun jauh, seseorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya.” (Madarijus Salikin, 1/496).
Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini, marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil, apakah yang kita dapati bersama? Lihatlah betapa banyak nyawa yang terbang karena fitnah ini. Betapa banyak gedung-gedung hancur akibat fitnah ini. Sehingga keamanan dan ketentraman kini terasa mahal harganya. Histeris serta ketakutan selalu membayangi kehidupan manusia.
Mengapa mereka tidak berpikir, bila seorang polisi atau aparat terbunuh dalam aksi demo tersebut, yang merugi adalah kita semua? Apabila gedung atau bangunan pemerintah dirusak akan lebih merugikan kita semua? Mana yang lebih disenangi Allah Subhanahu wa Ta’ala, terpeliharanya darah, harta, dan kehormatan –meskipun barang melambung tinggi—ataukah terkoyaknya kehormatan dan tumpahnya nyawa orang yang belum tentu membuat harga barang turun?
Ingatlah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ المُسْلِمِ بِغِيْرِ حَقٌّ
Hilangnya dunia beserta isinya sungguh lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak benar.” (Hadits shahih, diriwayatkan Ibnu Majah (2668), Tirmidzi (1395), Nasai (3998) dengan sanad shahih).
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa bencana yang menimpa bangsa saat ini adalah disebabkan perbuatan dosa mereka sendiri, agar mereka segera menyadari dan kembali kepada ajaran agama yang suci. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan ulah perbuatan manusia.” (Qs. ar-Ruum: 41).
Jadi cara terbaik mengatasi segala krisis dan bencana yang menyelimuti bangsa ini adalah dengan bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperbaiki diri kita dan keluarga dengan aqidah shahihah, serta membersihkan diri dari segala noda ksyirikan dan kebid’ahan. Ada pun cara-cara seperti kudeta, demonstrasi, dan sejenisnya sekali pun dimaksudkan untuk kebaikan, maka sebagaimana kata penyair:
رَامَ نَفْعًا فَضَرَّ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ
وَمِنْ الْبِرِّ مَا يَكُوْنُ عُقُوْقًا
Maksud hati ingin raih kebaikan, namun tanpa sengaja justru menumbulkan kerusakan.
Sesungguhnya di antara kebaikan ada yang menjadi kedurhakaan.



Sumber: Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.kisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.

Kisah Alqamah Durhaka Kepada Ibundanya

Konon dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang bernama Alqamah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin shalat, banyak puasa dan suka bersedekah. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah untuk memberitahukan kepada beliau akan keadaan Alqamah. Maka, Rasulullahpun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar-Rumi dan Bilal bin Rabah untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda, “Pergilah ke rumah Alqamah dan talqin-lah untuk mengucapkan La Ilaha Illallah ”Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat itu Alqamah sudah dalam keadaan naza’, maka segeralah mereka men-talqin-nya, namun ternyata lisan Alqamah tidak bisa mengucapkan La ilaha illallah.
trans Kisah Alqamah Durhaka Kepada Ibundanya
Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rasulullah.
Maka Rasulullah pun bertanya, “Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?”
Ada yang menjawab, “Ada wahai Rasulullah, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.”
Maka Rasulullah mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut, “Katakan kepada ibunya Alqamah, ‘Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang menemuimu.’”
Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqamah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata, “Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rasulullah.”
Maka, dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah.
Sesampainya di rumah Rasulullah, dia mengucapkan salam dan Rasulullah pun menjawab salamnya.
Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”
Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat, banyak puasa dan senang bersedekah.”
Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Lalu apa perasaanmu padanya?”
Dia menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan diapun durhaka kepadaku.”
Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhny,a kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”
Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.”
Si ibu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau perbuat?”
Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya dihadapanmu.”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.”
Maka, Rasulullah menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya adzab Allah lebih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,”
Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku Alqamah”.
Rasulullah pun berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqamah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu
Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.”
Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah. Maka, Bilal pun masuk dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”
Kemudian, Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga.
Maka, Rasulullah melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau menshalatkannya dan menguburkannya,
Lalu, di dekat kuburan itu beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allaoh tergantung pada kemarahannya.”
Kemasyhuran kisah ini:
Kisah ini dengan perincian peristiwanya di atas sangat masyhur dikalangan kaum muslimin, para penceramah selalu menyebutkannya kalau berbicara tentang durhaka pada kedua orang tua. Kayaknya jarang sekali kaum muslimin yang tidak mengenal kisah ini. Dan yang semakin membuat masyhurnya kisah ini adalah bahwa kisah ini terdapat dalam kitab Al-Kaba’ir yang disandarkan kepada Al-Hafizh adz-Dzahabi.
Padahal kitab Al-Kaba’ir yang terdapat kisah ini bukanlah karangan adz-Dzahabi, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam kitab beliau Kutubun Hadzara Minha Ulama’ juga dalam muqaddimah kitab adz-Dzahabi yang sebenarnya.
Kisah ini juga terdapat dalam kitab-kitab yang membicarakan tentang kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua. Namun, itu semua tidaklah menjadi jaminan bahwa kisah ini shahih.
Takhrij hadits ini (Takhrij ini saya sarikan dari risalah Qashashun La Tatsbut oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, 3/19 dan setelahnya):
Hadits yang menyebutkan kisah ini secara umum diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 4/382, Thabrani, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 6/197 dan dalam Dala’ilun Nubuwwah, 6/205. Semuanya dari jalan Yazid bin Harun berkata, telah menceritakan kepada kami Fa’id bin Abdur Rahman berkata, saya mendengar Abdullah bin Abu Aufa berkata, ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, di sini ada seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, dia disuruh untuk mengucapkan syahadat namun tidak bisa mengucapkannya.” Maka, Rasulullah bertanya, “Bukankah dia mengatakannya selama hidupnya?” Dijawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah kembali bertanya, “Lalu apa yang menghalanginya untuk mengucapkan syahadat saat akan mati?” … Lalu selanjutnya diceritakan tentang kisah pemuda itu yang durhaka kepada ibunya dan keinginan Rasulullah untuk membakarnya yang akhirnya ibunya meridhainya dan diapun bisa mengucapkan syahadat lalu meninggal dunia, dan akhirnya Rasulullah bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menyelamatkannya dari api Neraka.”
Derajat kisah:
Kisah ini lemah sekali.
Sisi kelemahannya adalah bahwa kisah ini diriwayatkan hanya dari jalur Abul Warqa’ Fa’id bin Abdur Rahman dan dia adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya dan seorang yang tertuduh berdusta.
Berkata Ibnu Hibban, “Dia termasuk orang yang meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang terkenal, dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dengan hadits-hadits yang mu’dhal, tidak boleh ber-hujjah dengannya.”
Berkata Imam Bukhari, “Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa dan dia seorang yang munkar hadits.”
Berkata Ibnu Hajar, “Dia orang yang lemah, tidak tsiqah dan ditinggalkan haditsnya dengan kesepakatan para ulama.”
Oleh karena itu, para ulama melemahkan hadits ini, di antaranya:
•    Imam Ahmad dalam Musnad beliau.
•    Al -Qoili dalam Adh-Dhu’afa al-Kabir, 3/461.
•    Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 6/198.
•    Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 3/87.
•    Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib, 3/222.
Karena beliau meriwayatkan kisah ini dengan lafadz: (روي: diriwayatkan). Sedangkan beliau mengatakan dalam muqaddimah kitab tersebut, “Apabila dalam sanad sebuah hadits terdapat seorang pendusta, pemalsu hadits, tertuduh berdusta, disepakati untuk ditinggalkan haditsnya, lenyap haditsnya, lemah sekali, lemah atau saya tidak menemukan penguat yang memungkinkan untuk mengangkat derajat haditsnya menjadi hasan, maka saya mulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan). Dan saya tidak menyebutkan siapa pe-rawi-nya juga tidak saya sebutkan sisi cacatnya sama sekali. Dari sini, maka sebuah sanad yang lemah bisa diketahui dengan dua tanda, pertama dimulai dengan lafadz (روي: diriwayatkan), dan tidak ada keterangan sama sekali setelahnya.”
•    Adz-Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at, no. 874.
•    Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id, 8/148.
•    Ibnu ‘Araq dalam Tanzihusy Syari’ah, 2/296
•    Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id al-Majmu’ah.
•    Al-Albani dalam Dha’if Targhib.

Ganti yang shahih

Setelah diketahui kelemahan hadits ini, maka tidak boleh bagi siapapun untuk menyebutkan kisah ini saat membahas tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua dan larangan durhaka kepadanya. Namun perlu diketahui, bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah sebuah kewajiban syar’i dan durhaka adalah sebuah keharaman yang nyata. Banyak ayat dan hadits yang menyebutkan hal ini, di antaranya:
Firman Allah Ta’ala,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al-Isra’: 23).
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال جئت أبايعك على الهجرة وتركت أبوي يبكيان فقال ارجع إليهما فأضحكهما كما أبكيتهما
Dari Abdullah bin Amr berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Saya datang demi berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku menangis.’ Maka, Rasulullah bersabda, ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau membuat keduanya menangis.’” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih, lihat Shahih Targhib, 2481).
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال كان تحتي امرأة أحبها وكان عمر يكرهها فقال لي طلقها فأبيت فأتى عمر رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم طلقها
Dari Abdullah bin Umar berkata, “Saya mempunyai seorang yang saya cintai, namun Umar membencinya, dan dia mengatakan kepadaku, ‘Ceraikan dia.’ Sayapun enggan untuk menceraikannya. Maka, Umar datang kepada Rasulullah lalu menyebutkan kejadian itu, maka Rasulullah berkata kepadaku, ‘Ceraikanlah dia.’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan beliau menshahikannya. Berkata Tirmidzi, “Hadits ini hasan shahih.”).
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس واليمين الغموس
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dari Rasulullah bersabda, “Dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu.” (HR. Bukhari).
Dan untuk mengetahui banyak hadis tentang pahala berbuat bakti pada kedua orang tua dan ancaman bagi yang durhaka kepada keduanya, lihatlah Shahih Targhib wat Tarhib oleh Syaikh Al-Albani pada bab ini. Wallahu a’lam.


Penulis: Ustadz Ahmad Sabiq, Lc.
Artikel www.kisahmuslim.com dengan pengubahan tata bahasa oleh tim redaksi.

Pernikahan Nabi Daud yang Ke 100

Pernikahan Nabi Daud yang Ke 100

Ada sebuah kisah yang sangat masyhur di kalangan kaum muslimin Indonesia maupun lainnya, sehubungan dengan kisah Nabi Daud ‘alaihissalam yang difirmankn oleh Allah Ta’ala berikut ini:

Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu merasa takut, kami (adalah) dua orang yang berperkara yang seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain, maka berilah keputuran antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan.” Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian lainnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih dan amat sedikitlah mereka ini. Dan dawud mengetahui bahwa kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Robbnya lalu tersungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (QS. Shod: 21-25)

Alkisah

Konon dikisahkan bahwa Nabi Daud ‘alaihissalam membagi hari-harinya menjadi tiga, satu hari untuk mengurusi urusan manusia, satu hari untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan satu hari lagi untuk para istrinya yang berjumlah 99. Setiap kali beliau membaca Al-Kitab maka beliau mengetahui keutamaan Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, maka beliau berkata, “Ya Allah, segala keutamaan telah dihabiskan oleh bapak-bapakku, maka berilah saya keutamaan seperti yang Engkau berikan keapda mereka.” Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Bahwasanya bapak-bapakmu telah mendapatkan ujian, Nabi Ibrahim diuji dengan menyembelih anaknya, Nabi Ishaq diuji dengan buta kedua matanya sedangkan Ya’qub diuji dengan kesedihan karena kehilangan Yusuf, sedangkan engkau belum diuji seperti mereka.” Maka Nabi Daud berkata, “Ya Allah, ujilah saya seperti mereka dan berilah aku keutamaan seperti keutamaan mereka.” Lalu Allah mewahyukan bahwa engkau akan diuji maka bersiap-siaplah.”
Selepas kejadian tersebut, datanglah setan kepadanya dalam bentuk burung merpati yang terbuat dari emas lalu hinggap di kaki Nabi Daud saat beliau sedang shalat, maka beliau menjulurkan tangan untuk meraihnya, burung tersebut menjauh, Nabi Daud pun membuntutinya. Tiba-tiba beliau melihat seorang wanita sangat cantik jelita sedang mandi di loteng rumahnya, wanita itu pun melihatnya, maka dia menjulurkan rambutnya ke seluruh badannya, hal itu membuat Daud tertarik padanya. Nabi Daud pun menanyakannya, ternyata dia sudah mempunyai suami yang sedang di medan pertempuran. Nabi Daud pun mengutus panglima perang agar mengirim Uria (suami wanita tersebut) untuk mengikuti perang lainnya yang lebih dahsyat sehingga akhirnya dia terbunuh. Lalu Nabi Daud menikahinya. Barusan Nabi Daud menemui istri barunya tersebut, Allah mengutus dua malaikat dengan berbentuk manusia, keduanya minta izin untuk bisa bertemu dengan Nabi Daud. Namun saat itu adalah hari ibadah beliau sehingga keduanya dihalangi oleh penjaga, maka keduanya pun melompat pagar, ternyata saat itu Nabi Daud sedang shalat. Keduanya lalu duduk di hadapannya. Nabi Daud pun terkejut, maka keduanya berkata, “Janganlah kamu merasa takut, kami (adalah) dua orang yang bersengketa salah satu dari kami menzalimi lainnya, maka hukumilah kami secara adil.” Nabi Daud berkata, “Kalau begitu ceritakanlah urusan kalian berdua.” Salah satunya berkata, “Saudaraku ini mempunyai 99 kambing betina, sedangkan saya hanya memiliki satu ekor kambing, namun dia ingin merebut kambingku agar kambingnya genap seratus.” Nabi Daud pun bertanya pada satunya, lalu dia berkata, “Ya, saya mempunya 99 kambing dan dia hanya punya satu, namun saya ingin merebutnya agar kambingku genap seratus.” Nabi Daud bertanya, “Apakah saudaramu itu rela menyerahkannya?” Dia menjawab, “Tidak, dia tidak rela.” Maka Daud berkata, “Kalau begitu, kami tidak akan membiarkanmu melakukannya, jika engkau terus merebutnya maka kami akan menghukummu.”
Tiba-tiba salah satu dari keduanya berkata, “Wahai Daud, engkau lebih layak untuk dihukum, engkau mempunyai 99 istri, sedangkan Uria hanya memiliki satu istri, engkau kirim dia untuk berperang agar dia terbunuh lalu kamu bisa menikah dengan istrinya.”
Saat itu Nabi Daud baru sadar bahwa dia telah berbuat salah, segeralah dia tersungkur sujud sambil menangis. Dia menangis selama empat puluh hari tidak pernah bangkit kecuali untuk kebutuhan mendesak, sehingga tanah yang terkena tetesan air matanya sampai tumbuh rumput. Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai Daud, baerdirilah, Aku telah mengampuni dosamu.” Maka Nabi Daud berkata, “Ya Allah, saya mengetahui bahwa Engkau telah mengampuniku, namun jika nanti pada hari kiamat, Uria datang menenteng kepalanya yang berlumuran darah, lalu dia berkata, “Ya Allah, tanyalah Daud, kenapa dia membunuhku?” maka Allah berfirman, “Jika demikian, maka Aku akan memanggil Uria, dan akan Aku pinta keikhlasannya untukmu, yang dengannya akan Aku balas dengan surga, niscaya dia akan merelakannya untukmu.” Daud berkata, “Sekarang saya benar-benar tahu bahwa Engkau telah mengampuniku.”

Takhrij Hadis

Kisah ini sangat masyhur di kitab-kitab tafsir saat menafsirkan firman Allah di atas, juga masyhur di kitab kisah para nabi. Di antaranya disebutkan oleh Al-Hakim dan At-Tirmidzi dalam Nawadirul Ushul dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau dan As-Suyuthi dalam Ad-Dur al-Mantsur, semuanya dari jalan Yazid ar-Ruqasyi dari Anas bin Malik secara marfu’.

Derajat Kisah

Kisah ini bathil.

Sisi Kelemahan

Kebatilan kisah ini bisa dilihat dari dua sisi:
Sisi Sanad:
Semua sanad kisah ini bersumber pada Yazid bin Aban Ar-Ruqasyi, sedangkan dia adalah orang yang sangat lemah bahkan ditinggalkan hadisnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berakta, “Diakatakan oleh An-Nasai, Hakim, dan Ahmad, ‘Matruk (ditinggalkan hadisnya).’”
Sedangkan sudah maklum bagi yang mengetahui dunia ilmu hadis bahwa Imam Nasai kalau berkata tentang seseorang “Matruk” maka berarti para ulama sepakat untuk meninggalkan hadisnya.
Imam Ahmad juga berkata, “Yazid orang yang hadisnya munkar.”
Bahkan karena kerasnya pengingkaran sebagian para ulama terhadapnya, sampai-sampai Imam Syu’bah berkata, “Seandainya saya berzina lebih baik dari pada saya meriwayatkan hadis dari Yazid Ar-Ruqasyi.”
(At-Tahdzib Ibnu Hajar no. 498, Mizanul I’tidal, 4:418, At-Tarikul Kabir, Al-Bukhari, 8:320 dan lainnya)
Sisi Matan:
Adapun kalau ditinjau dari sisi matan, maka kisah ini amat banyak sekali kebathilannya, cukuplah kita sebutkan beberapa di antaranya:
1. Dikatakan: Nabi Daud meninggalkan shalatnya untuk mengejar seekor burung.
Orang yang sedikit saja mempunyai rasa malu kepada Allah, tidak mungkin meninggalkan shalatnya hanya untuk mengejar seekor burung, sebagus apapun burung tersebut. Hal ini hanya akan dilakukan oleh orang-orang fasiq ahli maksiat, lalu bagaimana dikatakan bahwa ini dilakukan oleh seorang nabi yang diberi wahyu oleh Allah?
2. Dikisahkan bawha karena Nabi Daud kepincut dengan istri salah seorang pasukannya, dan beliau berusaha agar suami wanita tersebut terbunuh.
Demi Allah dan sekali lagi demi Allah, bahwa ini hanya dilakukan oleh orang-orang licik, yang hanya mementingkan nafsu pribadinya yang penuh angkara murka tanpa memperhatikan perasaan dan hak orang lain serta tidak perduli dengan perbuatan zalim pada selainnya.
Apakah perbuatan keji ini akan dilakukan oleh seorang nabi!? Tidak dan demi Allah tidak.
Imam Ibnu Hazm dengan sangat tegas membongkar kepalsuan kisah ini dalam kitab beliau Al-Fishol, 4:41, di antara yang beliau katakan adalah, “Demi Allah, semua orang pasti tidak ingin mencintai istri tetangganya dan berencana membunuh suaminya agar bisa menikahi istrinya tersebut dan meninggalkan shalat karena melihat burung. Semua ini adalah perbuatan orang-orang bodoh lagi ngawur, serta perbuatan orang fasik, bukan orang yang baik lagi bertakwa. Lantas bagaimana dengan seorang Rasul yang mendapatkan wahyu kitab?! Allah membersihkan beliau untuk terlintas dalam benaknya hasrat keji ini, apalagi sampai melakukannya!!”

Komentar Ulama Terhada Kisah Nabi Daud Ini

Oleh karena itu, para ulama sepakat atas kelemahan dan kebatilan kisah ini, Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fishol berkata, “Ini adalah sebuah khurofat yang ditelorkan oleh orang-orang Yahudi.”
Imam Ibnuul Arabi Al-Maliki berkata, “Adapun ucapan mereka bahwa tatkala wanita ini membuat tertarik Nabi Daud maka beliau memerintahkan suaminya berperang sehingga terbunuh di jalan Allah, maka ini dipastikan kebathilannya, karena Nabi Daud tidak mungkin menumpahkan darahnya hanya untuk kesenangan dirinya saja.” Sebagaimana dinukil oleh Al-Qurthubi dalam tafsir beliau 15:176.
Al-Khazin dalam Tafsir Lubabut Ta’wil 6:49 berkata, “Bab penyucian Nabi Daud dari kisah tidak layak yang disandarkan kepadanya.” Ketahuilah bahwa seseorang yang dikhususkan oleh Allah untuk menjadi Nabi-Nya dan dimuliakan untuk menjadi seorang Rasul dan diberi amanat untuk mengemban wahyu, sama sekali tidak pantas untuk disandarkan kepadanya. Sebuah kisah yang seandainya disandarkan kepada orang biasa pun, maka dia akan mengingkari hal itu, lalu bagaimana dengan seorang nabi!?”
Al-Hafidz Ibnu Katsir, “Para ulama tafsir menyebutkan sebuah kisah yang kebanyakan terambil dari israiliyyat dan tidak shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib untuk diikuti, namun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, sanadnya tidak shahih karena dari jalan Yazid Ar-Ruqasyi dari Anas. Dan Yazid ini meskipun seorang yang shaleh namun hadisnya lemah menurut para ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4:31)
Syaikh Al-Albani berkata, “Kisah terfitnahnya Nabi Daud terhadap istri salah seorang pasukannya yang bernama Uria adalah sebuah kisah yang sangat masyhur yang dihembuskan ke dalam kitab kisah-kisah para nabi dan beberapa kitab tafsir, namun tidak ragu sedikitpun bagi seorang muslim yang akalnya masih sehat akan kebathilannya, karena kisah tersebut mengandung sesuatu yang tidak layak bagi seorang nabi, seperti berusaha agar suaminya terbunuh agar nantinya dia bisa menikahi istrinya. Kisah ini secara ringkas telah diriwayatkan dari Rasulullah, maka wajib untuk disebutkan serta dijelaskan kebathilannya.”
Lalu Syaikh Al-Albani menyebutkannya setelah itu beliau berkata, “Yang nampak bahwa kisah ini termasuk israiliyyat yang dinukil oleh ahli kitab yang mereka tidak meyakini kemakshuman (terjaga dari kesalahan) para nabi, lalu Yazid ar-Ruqosyi salah sehingga dia memarfu’kannya kepada Rasulullah.” (Adh-Dho’ifah, 313-314)

Tafsir yang Shahih

Syaikh Abdurrahman As-Sadi berkata, “Tatkala Allah menyebutkan bahwa Dia menganugerahkan kepada Daud kemampuan menghukumi persengketaan manusia, maka Allah menyebutkan berita dua orang bersengketa untuk dijadikan sebagai ujian bagi beliau sekaligus sebagai peringatan atas kesalahan yang beliau lakukan, sehingga akhirnya beliau bertaubat dan Allah pun mengampuni dosanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad, “(Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara, tatkala mereka melompat) kepada Nabi Daud (Mihrab) yaitu tempat ibadah beliau tanpa izin, mereka pun tidak masuk lewat pintu. Oleh karena itu, karena mereka masuk dengan cara mereka seperti itu Nabi Daud pun kaget dan takut. Maka keduanya berkata, ‘Kami ini (dua orang yang bersengketa) maka janganlah engkau takut (salah satu dari kami menzalimi lainnya, maka hukumilah antara kami dengan cara yang benar) maksudnya dalah secara adil, dan jangan engkau memihak salah satu.’”
Maksudnya: Bahwa Nabi Daud ‘alaihissalam mengetahui bahwa tujuan keduanya adalah hanya ingin mencari kebenaran, dan keduanya akan mengisahkan perkara keduanya dengan benar. Oleh karena itu, beliau tidak merasa risih dengan nasihat mereka.
Salah satunya berkata, “(Saudaraku ini) dia menyebutkan kata persaudaran seagama atau nasab atau sebagai teman, karena biasanya kalau demikian tidak menzalimi pada lainnya (dia mempunyai 99 kambing betina) maksudnya istri, dan yang sudah punya istri sejumlah ini maka ini adalah sebuah kebaikan yang sangat banyak seharusnya dia merasa cukup dengan yang diberikan oleh Allah padanya. (sedangkan saya hanya memiliki satu kambing) namun dia menginginkan kambingku seraya berkata, ‘Biarkan dia untukku.’ Dan dia mengalahkanku dalam berbicara sehingga dia hampir merebutnya.”
Maka Nabi Daud ‘alaihissalam berkata, (Sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu untuk digabungkan dengan kambingnya) dan ini adalah kebiasaan orang yang berserikat (kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh) karena mereka memiliki keimanan yang amal shaleh yang bisa menghalangi mereka dari berbuat zalim (namun mereka sangat sedikit sekali.” Maka Daud mengetahui) tatkala menghukumi antara keduanya (bahwa kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Robbnya lalu tersungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahan itu.) yang telah dia lakukan dan Allah memberikan kepadanya banyak kemuliaan (Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik).
Dosa yang dilakukan oleh nabi Daud tidak disebutkan oleh Allah karena tidak ada perlunya Oleh karena itu terlalu memaksakan diri kalau menyebutnya, yang penting faidahnya adalah apa yang dikisahkan oleh Allah bahwa Dia bersikap lembuat pada Nabi Daud, menerima taubatnya yang dengan itu maka beliau bertambah tinggi derajatnya dan setelah taubat bertambah lebih baik dariapda sebelumnya.” (Tafsir Karimurohman, Syaikh as-Sa’, di atas ayat ini dengan sedikit perubahan)
Kejinya Bangsa Yahudi
Itulah keyakinan kaum muslimin yang sangat menjaga kehormatan para nabi. Hal yang sangat kontradiktif dengan perilaku bangsa Yahudi juga Nasrani yang menghina bahkan sampai membunuh para nabi. Dalam kasus ini mereka menuduh nabi Daud berzina dengan wanita tersebut –semoga Allah melaknat dan menghinakan mereka- dan ini sangat jelas tergambar dalam kitab yang mereka anggap suci. Inilah sebagian petikannya:
“Sesudah itu Daud menyuruh orang mengambil dia (Batsyeba). Perempuan itu datang kepadanya, lalu Daud tidur dengannya (berhubungan seksual)…” (Kitab -2 Samuel 11:4)
“Daud dengan jahat menyebabkan kematian Uria, suami Batsyeba..” (Kitab -2 Samuel 11:6-25)
“…betapa raja orang Israel (Daud), yang menelanjangi dirinya pada hari ini di depan budak-budak perempuan para hambanya, merasa dirinya terhormat pada hari ini, seperti orang hina dengan tidak malu-malu menelanjangi dirinya.” (Kitab -2 Samuel 6:20)
Ihatlah masalah kerusakan kitab ‘suci’ ahli kitab ini dalam The Choice oleh Ahmad Deedat Hal.287-321.
Kita berlindung kepada Allah dari kekotoran jiwa dan matinya hati. Wallahu musta’an.
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 12 Tahun ke-7  1429 / 2008
Artikel www.KisahMuslim.com

Upaya Syaibah bin Utsman Membunuh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

Upaya Pembunuh kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Ishaq berkata, “Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah, saudara Bani Abdiddar, bercerita, ‘Aku berkata pada hari itu –yakni Perang Hunain– bahwa aku akan membalaskan dendamku pada Muhammad. Aku akan membunuh Muhammad. (ayah Syaibah terbunuh dalam perang Uhud.) aku menuju tempat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Namun tiba-tiba muncul sesuatu yang menakutkan hingga menghilangkan kesadaranku. Aku tidak sanggup melihatnya. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak sanggup menyentuh beliau’.”

Baihaqi meriwayatkannya dalam Ad-Dalail dari jalur Walid bin Muslim yang berkata, “Abdulah bin Mubarak bercerita kepada kami, dari Abu bakar Al-Hudzali, dari Ikrimah mantan budak Ibnu Abbas, dari Syaibah bin Utsman yang mengatakan, ‘Ketika aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tidak terjaga dalam perang Hunain, aku teringat ayah serta pamanku yang mati di tangan Ali dan Hamza. Maka aku berkata, ‘Hari ini aku bisa membalaskan dendamku pada Muhammad.’ Aku bergerak mendekati beliau dari sisi kanan. Ternyata ada Abbas yang tengah beridiri siaga. Ia mengenakan baju besi putih seperti perak yang tidak tertutupi debu. ‘Ini pamannya, pasti ia tidak akan membiarkannya terancam,’ gumamku. Kemudian aku mencoba mendekati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi kiri. Dan ternyata Abu Sufyan bin Harits di sana. ‘Ini saudara sepupunya dan tentunya ia tidak akan membiarkannya terancam.’
Selanjutnya, aku mendatangi beliau dari arah belakang. Ketika aku hanya tinggal menebas beliau dengan sekali tebasan pedang, tiba-tiba muncul kobaran api seperti kilat antara aku dan beliau. Aku sangat takut api itu membakarku. Maka aku menutupi mataku dengan tangan sambil berjalan mundur. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan bersabda, ‘Wahai Syaibah.. wahai Syaibah, mendekatlah kepadaku. Ya Allah hilangkan (gangguan) setan darinya.’ Lantas aku menatap beliau. Ajaib, tiba-tiba aku lebih mencintai beliau daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, perangilah orang-orang kafir’.”
Ketika menyebutkan hadis ini, Dzahabi berkata, “Hadis ini gharib sekali.” Haitsami, dalam Al-Majma’, menyandarkan riwayat ini pada Thabrani, dan ia berkata, “Pada sanadnya ada Abu Bakar Al-Hudzali, ia seorang perawi dha’if.” Ini tergolong kurang teliti dalam men-jarh (mencela seorang rawi). Dzahabi dan Ibnu Hajar telah menyatakan bahwa ia (Abu Bakar Al-Hudzali) seoarang perawi matruk (ditinggalkan).” Kemudian Baihaqi menyebutnya sanadnya dari Ayyub bin Jabir, dari Shadaqah bin Sa’id, dari Mush’ab bin Syaibah, dari ayahnya yang berkata, “Aku berangkat bersama Rasulullah (menuju Hunain). Demi Allah, bukan Islam yang mendorongku berangkat. Tetapi aku hanya tidak suka bila Hawazin sampai mengalahkan Quraisy. Ketika aku tengah berdiri di samping beliau, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku melihat kuda belang’.” Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, hanya orang kafir yang bisa melihat kuda itu.’ Lantas beliau menepuk dadaku, dan mengucapkan,’Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Syaibah.’ Beliau melakukannya tiga kali. Setelah itu hampir tidak ada makhluk Allah yang lebih aku cintai dari pada beliau….” Baihaqi menyebutkan hadis selengkapnya.
Ayyub bin Jabi bin Sayyar seorang perwai dha’if. Sementara itu, Shadaqah bin Sa’id Al-Hanafi, tentangnya Ibnu Hajar berkata, “Rawi maqbul (bisa diterima).” Artinya, ketika hadisnya menjadi mutaba’ah, bila tidak maka ia seorang perawi yang hadisnya layyin. Sepanjang penelitianku, aku tidak mendapati anak Syaibah bin Utsman yang bernama Mus’ah telah dituliskan biografinya. Adham Ar-Ruwah disebutkan, “Mus’ab bin Syaibah bin Jubair bin Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah termasuk perawi tingkat lima. Mus’ab di sini putra dari cucu pelaku kisah. Tentangnya Ahmad berkata, “Ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar.” Nasai berkata, “Haditsnya mungkar.” Daruquthni berkata, “Ini tidak kuat dan bukan orang yang hafalannya baik.” Abu Dawud men-dha’if-kannya, sementara Ibnu Ma’in dan Al-Akli men-tsiqah-kannya. Oleh sebab itu, dalam At-Taqrib, II:215, Ibnu Hajar lebih memilih bahwa ia layyinul hadis.
Kisah ini disebutkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah, VIII: 213, dari Waqidi, dari guru-gurunya. Waqidi perawi matruk, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar menyandarkan riwayat ini pada –selain yang telah disebutkan– Ibnu Khaitsamah dari Mush’ab An-Namiri, dan Baghawi. Kemudian ia mengatakan, “Ibnu Sakan berkata, ‘tentang sanad kisah keislaman Syaibah perlu dilihat ulang.’ Ibnu Sakan adalah Al-Imam Al-Hafizh Al-Mujawwid Al-Kabir Abu Ya’la Sa’id bin Utsman bin Sa’id bin Sakan. Ia seorang ulama besar yang menghimpun, mengarang, memversifikasi rawi, menshahihkan dan mencacat hadis.” Wafat tahun 353 H. Ibnu Hajar menggelarinya dengan sebutan ‘jalalah (keluhuran) dan itqan (pakar).”


Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010
Artikel www.KisahMuslim.com